Sabtu, 13 Mei 2017

Merencanakan Keuangan Keluarga

Tidak saya sangka sebelumnya bahwa ketika saya memutuskan untukmenerima lamaran mas suami dan menikah, saat itu juga saya “dilantik” jadi manajer keuangan keluarga. Keren ya? Tapi  dipercaya mas suami untuk mengelola dan mengatur keuangan keluarga kecil kami tanpa pengetahuan tentang keuangan sebelumnya adalah sebuah tantangan besar bagi saya. Dulunya sebelum nikah, saya rasanya bebas saja menggunakan uang gaji bulanan saya sesuai keinginan saya. Kalau dalam sebulan uang gaji habisa tak bersisa, biasa saja karena waktu itu saya belum punya planning keuangan terhadap hidup saya. Maklum masih single jadi rasanya masih free tanpa ikatan hehe..

Aih, ternyata ketika mas suami menyerahkan gaji bulanannya dan meletakkan tanggungjawab mengelola uang, bikin saya shock juga. Uang segini banyaknya harus bisa dialokasikan ke pos-pos kebutuhan kami berdua dan terkadang kebutuhan keluarga besar kami.


Di tahun di awal masa pernikahan, kami merencanakan punya rumah sendiri yang sebelumnya kami tinggal di rumah eyang. Nah lho, yang pasti kami harus menyisihkan uang untuk rencana beli rumah sendiri. Jadi prioritas keuangan kami pada waktu itu adalah rumah. Waktu itu saya belum menemukan pola pengelolaan keuangan yang pas supaya jumlah uang yang ditabung lumayan banyak namun kebutuhan pokok lainnya tercukupi plus kebutuhan refreshing bagi kami.

Sebenarnya banyak metode pengelolaan keuangan keluarga yang dikenal. Di awal menikah saya belum punya bekal pengetahuan bagaimana cara efektif mengelola keuangan keluarga. Waktu itu saya hanya menyediakan uang sedikit saja dalam dompet. Tujuannya untuk mengontrol saya dalam membelanjakan uang. Terkadang saya hanya menaruh uang 200 ribu saja dalam dompet. Maksudnya biar bisa ngirit hehe... Tapi ternyata tidak begitu efektif juga. Masih sering kebobolan. Ah, harus cari cara lain.
Saya pernah pake metode amplop yaitu mencatat pos-pos pengeluaran pada amplop. Kemudian mengisi amplop-amplop tersebut dengan uang sesuai rencana kita. Saya sempat menyediakan 9 amplop yang saya tulisi (1) kebutuhan konsumsi (2) bensin dan pulsa (3) angsuran kendaraan (4) angsuran rumah (5) gaji pembantu (6) listri/air (7) tabungan (8) beli baju (9) lain-lain/kebutuhan mendadak.

Kita harus bener-bener disiplin dengan penggunaan uang dalam amplop. Jangan coba mengambil uang dari pos amplop lain untuk suatu kebutuhan yang sudah direncanakan. Kalau bisa disiplin dijamin keuangan kita aman. Mas suami sampai tersenyum liat tumpukan amplop keuangan saya. Tapi dia menghormati “cara” saya mengelola uang. Nah metode yang ini bertahan cukup lama tapi akhirnya berantakan juga karena ternyata sekarang rencana kebutuhan saya terkadang lebih dari 10 amplop dan saya jadi kurang telaten menyiapkan amplopnya di awal bulan. Alasan saya klise bahwa ketika di rumah waktu saya langsung tersita oleh anak-anak. #jangan ditiru alasan saya, bagi temen-temen yang pake metode amplop ya ;) #

Hayah, saya akhirnya cari cara lain lagi,
Setelah metode amplop, saya mencoba cara lain dengan membuat catatan pemasukan dan pos rencana pengeluaran saya tanpa menyiapkan amplop. Saya membuat daftar rencana pengeluaran dan jumlah uang yang dikeluarkan. Di akhir bulan bisa dievaluasi pos pengeluaran mana yang surplus dan pos mana yang ternyata minus. Kalau banyak pos pengeluaran yang minus musti mutar otak 1
(1)  apakah harus mengubah gaya hidup kita yang sekarang  ataukah mempertahankannya?
(2)  Apakah perlu mengurangi pengeluaran pos-pos tertentu yang dianggap tidak begitu penting?
(3)  Apakah perlu mencari tambahan penghasilan?
Sebagai istri, kita musti diskusi dengan suami untuk alternatif keputusan itu. Jangan ambil keputusan sendiri karena walau kewengang mengelola keuangan ada di tangan istri tapi keputusan final kan tetap ada di tangan suami.

Kalau sekarang saya menerapkan cara membuat catatan dan ditambah metode perencanaan keuangan pola 50-30-20 artinya 50% dari penghasilan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok, 30% untuk kebutuhan lain dan 20 % untuk tabungan/investasi.  

Kebutuhan pokok saya rinci apa saja dan kemudian mengalokasi 50% dari uang bulanan. Begitu juga kebutuhan di luar kebutuhan pokok termasuk asuransi kesehatan/pendidikan yang mendapat jatah 30%. Sedangkan untuk tabungan/investasi sebesar 20% langsung saya potong setiap bulannya. Kalau dulu pos tabungan jumlahnya tidak sama setiap bulan kecenderungannya sedikit karena saya mikirnya menabung tuh kalau ada sisa, kalau sekarang pos tabungan setiap bulan hampir sama dan cenderung naik kalau pendapan bulanan kami naik.


Dari pengalaman, ternyata kuncinya adalah disiplin penggunaan uang sesuai rencana dan kebutuhan bukan berdasarkan keinginan. Pembiayaan keinginan dekat sekali dengan gaya hidup yang kita pilih. Kalau kita milih standar gaya hidup yang tinggi, jelas cost-nya juga akan lebih tinggi. Misalnya kita sudah punya mobil yang masih ok tapi ketika ada pameran mobil terbaru dan kliatan keren, kita tergoda untuk ganti mobil. Itu berarti nambah tanggungan kredit mobil baru.

Kalau perempuan urusan sepele seperti beli lipstik baru yang sebenarnya tidak dibutuhkan karena ditawarin katalog kosmetik teman kantor yang harganya diatas harga rata-rata lipstik merek lain bisa jadi godaan keuangan. Terkadang di bulan yang sama di kantor ada tawaran koleksi baju,jilbab atau wadah makanan berkatalog yang menggoda iman keuangan. Nah, kudu kuat hati menahan laju kenaikan “gaya hidup” karena tanpa sadar bisa membobol keuangan keluarga kita.

So far, saya nyaman dengan cara yang terakhir ini. Saya merasa keuangan keluarga kami aman karena kebutuhan pokok seperti rumah, kendaraan, pendidikan anak-anak dan tabungan plus investasi sudan tercover semua. Kami juga bisa menyisihkan uang untuk acara liburan keluarga setiap tahunnya.
Jadi sebenarnya berapa pun besar penghasilan kita, untuk bisa dikatakan cukup dan menyejahterakan tergantung gaya hidup kita. Menurut saya dengan pola 50-30-20, kita “dipaksa” untuk hidup sederhana sesuai dengan penghasilan kita. Walau misalnya penghasilan kita 50juta setiap bulan tapi kalau pos konsumsi lain-lain lebih besar dari  pos konsumsi kebutuhan pokok (lebih dari 50%), rasanya memang penghasilan sebesar itu akan terasa kurang. 

Bagaimana dengan teman-teman, share dong di kolom komentar untuk berbagi...



3 komentar:

monda mengatakan...

semakin lama semakin paham dan lihai mengatur keuangan keluarga ya mbak Entik..
memang di kantor itu banyak banget godaan belanja he.. he.. sama musti tebal muka menolak katalog yg cantik2 itu

entik mengatakan...

@monda; betol banget.. kalau sudah disodorin katalog rasanya berat untuk berkata "tidak.."
benar-benara godaan yang besar ;)

Fitri3boys mengatakan...

mengaturnya selalu diusahakan pengeluaran lebih kecil dari pendapatan, nyisihin tabungan diawal, jadi biar ebak dan disiplin minta auto debet gitu, jadi mau gak mau harus mau.