Kamis, 17 Maret 2016

ikhfan dan asma



Ikhfan lahir pada tanggal 20 juli 2012 dengan berat badan 3,4 kg dan sehat. Sejak ikhfan lahir, saya berniat memberinya ASI eksklusif. Alkhamdulillah dengan ASI eksklusif, berat badannya bertambah dengan cepat. Tidak ada keluhan kesehatan berarti sampai ikhfan berusia sekitar 10 bulan. Waktu itu,  ikhfan terserang batuk, mungkin tertular kakak ikhsan yang sedang flu. Saya kira itu hanya flu biasa, jadi saya tidak memberi obat. Saya hanya memperbanyak pemberian ASI dengan harapan batuknya agak mereda. Itu adalah pertama kali ikhfan terserang flu.

Walau ASI yang saya berikan lebih banyak dari biasanya ternyata batuknya bertambah parah. Di malam hari batuknya semakin menjadi dan ikhfan jadi semakin rewel. Nafas ikhfan jadi pendek-pendek dan berbunyi. Hanya bisa tidur dengan digendong dan tidak bisa ditidurkan telentang.
Saya mulai tidak tenang dan curiga batuk ikhfan bukan sekedar batuk flu biasa. Saya dan mas memutuskan besok pagi membawa ikhfan ke dokter spesialis anak.

Keesokan harinya ketika dokter memeriksa dada ikhfan dengan stetoskop langsung mendiagnosa ikhfan terserang asma dan kejadian tadi malam ketika nafasnya pendek-pendek seperti tersengal-sengal itu adalah serangan asma. Saya sempat diingatkan dokter kalau tadi malam sebenarnya kondisi yang “rada gawat” untuk ikhfan jika tidak segera diberi pertolongan nebulizer karena serangan asma pada bayi bisa berakibat gagal nafas. Tapi beruntung ikhfan kuat bertahan.
Poong...rasanya saya seperti ditampar dengan pernyataan dokter. Jujur waktu itu saya tidak punya informasi dan pengetahuan tentang serangan asma pada bayi.

Selasa, 01 Maret 2016

cerita di sepenggal siang


Duduk di bawah pohon rimbun di gedung pusat kampus sambil menikmati angin yang bertiup nakal bersama Abi adalah saat-saat kunanti. Sesekali kulihat sudut mata  Abi mengerling menatapku tetapi buru-buru dibuangnya jauh.

 “Akan seperti apakah kita 10 tahun lagi Er? Masihkah kita bisa memandang langit yang sama ditemani buaian angin yang nakal ini?” Mata Abi menerawang jauh.

Aku hanya terpekur diam.

“Entahlah, semoga saja langit akan tetap di sana untuk kita 10 tahun lagi,” jawabku sekenanya.

“Er...,” panggil Abi.

Aku menoleh dan menunggu kalimat selanjutnya. Yang kudapat hanya diam. Aku tetap menunggu. Lima menit berlalu, perkataan Abi terhenti. Abi selalu seperti ini, selalu ada yang ingin diungkapkan tetapi batal diucapkan.

“Bi..., tadi mau bilang apa?” akhirnya aku tidak tahan untuk bertanya.

“hmm... ,” Abi masih bimbang. “kamu akan tetep jadi tempat aku berbagi kan?”

Aku terdiam tapi mengangguk mantap. “Pasti, Bi..”

Angin mulai bertiup nakal lagi mempermainkan ujung poniku sementara Abi memandang daun-daun kering yang ikut diterbangkan angin.

“Er, lihatlah daun-daun itu. Mereka berkejaran ditiup angin. Pergi menurutkan angin menyuruh mereka pergi. Awalnya mereka bersama namun ketika angin datang, mereka terpisah. Mungkin nanti saat angin menginginkan mereka bertemu, mereka akan bertemu juga. Walau mereka tetap ingin bersama namun nasib membawa mereka ke tempat yang berbeda. Mereka berpisah tanpa ada kesedihan.” Abi terdiam lagi.

“Er, mungkinkah kita seperti mereka?”