Rabu, 24 Agustus 2011

kiriman hadiah

setelah beberapa kali ikutan kontes di dunia per-blogeran, akhirnya saya menang juga hehe... Ikutan nulis fiksi mini di Kontes Unggulan Cermin Blogger Bakti Pertiwi yang diselenggarakan oleh Trio Pakdhe Cholik, mba Nia, mba Lidya, saya dapet juara harapan V. Weh, begitu tahu hasilnya rasanya pengen jingkrak-jingkrak saking senengnya.

Dua hari yang lalu, kiriman dari JNE datang. Begitu lihat ada bungkusan, Ikhsan langsung spontan pengen buka. Menurut dia, ini hadiah buatnya. Ya sudahlah, tanpa komando langsung dibuka. Setelah bungkusan dibuka, Ikhsan rada kecewa karena isinya adalah jilbab swarna berwarna biru tua.
"Yah..., ini buat ibu, bukan buat aku," kata ikhsan sambil ngeloyor pergi.
hihi..., ya iyalah le, wong isinya jilbab.
ketika saya melihat-lihat jilbab itu, ikhsan mendekati saya dan mulai merengek, " ibu, kado buat aku mana? kok aku ga dapat kado?"
"ya, besok ya le," jawab saya pendek.



Saya langsung penasaran pengen nyobain jilbab swarna itu. Langsung deh ngacir ke kamar. Langsung dipake dan ternyata pas banget di kepala. Pas liat di cermin, ternyata ok deh. Jadi langsung aja menjepret diri sendiri (naluri narsis-nya mulai muncul hehe..)

Ikhsan dan bapakna sepakat memberi komentar," Ibu cantik.."
Wah, jadi melayang dewh..
jadi, makasih mba Nia, mba Lidya,mba dey dan Pakdhe Cholik buat kadonya yang bikin saya dapat komentar "cantik" dari 2 lelaki ganteng di rumah.

Kamis, 18 Agustus 2011

marah pada anak

Pernahkah teman-teman marah, jengkel atau ngomel pada anak? Saya yakin pasti pernah walau cuma sekali saja. Untuk menjadi marah memang mudah. Setiap orang pasti mampu untuk marah terhadap sesuatu atau seseorang. Dan akan paling mudah marah terhadap anak. Apalagi jika anak melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan pikiran dan kehendak kita. Posisi kita sebagai orang tua menjadi posisi yang superior untuk marah terhadap anak yang masih kecil. Tetapi, marah yang tepat tidaklah mudah. Marah pada waktu yang tepat dan pada orang yang tepat dengan cara yang baik, bukanlah sesuatu yang mudah.

Bagi orangtua yang beraliran konservatif dalam mendidik anak, akan selalu merasa berhak untuk marah, bila merasa jengkel dan tidak menyukai perilaku anak. Hak ini didukung oleh argumen, bahwa kemarahan orangtua adalah demi kebaikan terhadap anak itu sendiri. Tujuan ini tentu saja dibenarkan, namun kadar, waktu, dan cara marah yang keliru, sering menimbulkan suasana semakin ruwet. Orangtua semakin marah, anak semakin memberontak. Orangtua mengecap anaknya sebagai anak yang bandel, nakal, suka membantah orangtua, sementara anak melakukan penyelesaian masalah dengan caranya sendiri. Misalnya dengan lari dari suasana rumah, berkeliaran di mal-mal, pulang larut malam, atau bahkan terlibat dalam obat-obatan terlarang.

Untuk itu dibutuhkan tidak saja ketrampilan kognitif intelektual manakala orangtua akan menggunakan hak marahnya kepada anak, melainkan juga dituntut adanya ketrampilan emosional. Keterampilan kognitif intelektual tampak dari tujuan marah yang ilmiah, yakni karena kamu salah maka ibu dan bapak berhak untuk marah. Keterampilan emosional, tampak dari bagaimana ketepatan orangtua untuk mengekspresikan marahnya secara tepat.

Daniel Goleman menyodorkan empat langkah alternatif marah yang tepat terhadap anak. Empat langkah ini terdiri atas strategi SOCS (Situation, Option, Consequence, dan Solution). Artinya kita harus mengetahui:

1. situasi psikologis anak (badan anak capek, pikiran masih kacau atau anak memang tipe pemberontak)

2. alternatif hal-hal yang bisa dilakukan terhadap anak (menasehati langsung, menasehati tetapi ditunda setelah anak memiliki waktu yang tepat, menasehati biasa, menasehati dengan nada keras, dsb)

3. memikirkan segala konsekuensinya (anak menerima tanpa syarat, diterima dengan syarat, atau anak menolak nasihat orangtua)

4. mengetahui solusi yang bisa digunakan untuk mengatasi masalah anak.

Dari pengalaman saya, memang mengelola rasa marah terhadap anak sangat sulit. Terkadang saya kelepasan juga mengeluarkan kata-kata yang berintonasi agak keras terhadap Ikhsan kalau dia menolak nasehat saya dan tetap melakukan perbuatan yang menurut saya tidak tepat. Seperti kejadian kemarin sore ketika saya mengajak Ikhsan untuk buka bersama di masjid. Di masjid , setelah diisi pengajian menjelang buka, anak-anak termasuk Ikhsan pada ribut. Saya pikir itu wajar, namanya juga anak-anak, kalau ketemu teman-temannya pasti akan ramai. Mereka tidak bisa disuruh duduk berdiam diri menunggu adazan maghrib berkumandang seperti orang dewasa. Dan ketika sound sistem mesjid dicoba, orang yang nyoba ngetes mic-nya berkata," tes..tes.."

Mendengar itu, Ikhsan tertawa dan langsung menirukan dengan teriakan keras, "bas...bas...base.."

Nah, anak-anak yang lain tampaknya merasakan sensasi senang dengan menirukan apa yang dikatakan ikhsan. Jadi semua anak pada bilang, "bas...bas...base..," dengan suara lantang. Bisa dibayangkan betapa ramainya suasana mesjid waktu itu. Sampai saat buka puasa tiba, anak-anak dengan dipimpin ikhsan & yudis masih pada ribut bilang, "bas...bas...base..."

Saya mencoba memberitahu ikhsan supaya jangan teriak-teriak seperti itu, karena setiap kali ikhsan mengucapkan kata-kata itu, anak-anak lain akan mengikutinya. Sebentar kemudian ikhsan menuruti kata-kata saya, tapi selang beberapa menit diulang lagi. Doh, ampe tepok jidat dewh..

Sebelum sholat maghrib dimulai, saya sudah wanti-wanti sama ikhsan,

"Le, nanti kalau sholat jangan rame ya? Jangan teriak-teriak "bas..bas..base" ya? Ga usah ikut-ikutan mas Yudis teriak-teriak ya? Nanti ganggu ibu-ibu dan bapak-bapak yang sholat."

"ho o bu, " ikhsan mengiyakan dengan mantaps.

Setelah itu, ikhsan berlari ke deretan jamaah laki-laki. Eyang langsung mengambil posisi di antara ikhsan dan yudis. Niatnya misah 2 anak itu biar ga begitu ramai saat sholat dimulai. Yah, namanya anak-anak walau sudah diwanti-wanti tidak teriak-teriak pas sholat, tetep aja dua anak itu bergantian teriak "bas...bas...base..," Ya, jelas mengganggu konsentrasi jamaah lain. Selesai sholat, deretan ibu-ibu sudah pada ngomel-ngomel kalau teriakan anak-anak itu mengganggu konsentrasi. Salah satu ibu, langsung berdiri dan mengacungkan telunjuknya ke arah ikhsan dan memelototkan mata sambil bilang ,"kalau sholat ga boleh ramai," dengan intonasi tinggi. Doh, saya jadi ga enak ati banget. Niatnya melatih ikhsan sholat di mesjid, eh malah banyak orang yang terganggu sholatnya. Tanpa kata-kata saya beranjak bangun dan menggandeng tangan ikhsan. Saya ajak pulang. Walau ikhsan protes keras, kenapa dia buru-buru diajak pulang sementara teman-temannya masih di masjid. Saya tetep diam dan menarik tangannya.

Melihat saya hanya diam saja di jalan, rupanya ikhsan tahu kalau saya marah.

"Ibu marah ya? ibu kok diam saja?" tanya ikhsan sepanjang jalan menuju rumah.

"iya, ibu marah," jawab saya pendek.

"Kenapa?"

"Karena ikhsan rame di mesjid. Mengganggu orang-orang di mesjid."

Sampai rumah, ikhsan saya dudukkan di pangkuan saya dan saya coba memberitahunyabahwa kemarahan saya karena ikhsan melakukan perbuatan yang tidak pas. Karena saya jarang banget marah, ikhsan langsung nangis sesengukan. Saya minta dia berjanji tidak mengulanginya. Ikhsan tetep menangis. Saya peluk ikhsan dan saya tunggu sampai tangisnya reda. Setelah reda, ikhsan akhirnya mau berjanji tidak mengulang lagi. Dan sebagai "hukuman", malam itu saya tidak memperbolehkan ikhsan menonton acara shaun the sheep di tivi. Tanpa protes, ikhsan menerima "hukuman" saya.

Hari berikutnya, saya tetap mengajak ikhsan buka puasa di masjid. Saya wanti-wanti ikhsan sebelum sholat maghrib dimulai, bahwa kalau dia tidak ribut selama sholat maka dia boleh nonton shaun the sheep di tivi stelah sholat maghrib, tapi kalau masih ribut, maka ikhsan ga boleh nonton. Ternyata selama sholat, ikhsan dan yudis tetep ribut dan rame. Dan jamaah lain masih berkomentar negatif tentang keributan anak-anak itu. Saya tidak menegur atau memarahi ikhsan langsung di mesjid. Saya hanya diam dan langsung menggandeng tangan ikhsan, mengajak pulang. Sampai di rumah, saya bilang ke Ikhsan kalau dia tadi masih rame di mesjid jadi tidak boleh nonton shaun the sheep.

"Iya, aku tadi masih rame," ikhsan mengakui kesalahannya. "Aku ga nonton shaun the sheep, aku mainan aja."

Kemudian saya tidak membahas lagi. Saya pikir ikhsan sudah mengerti tentang sebab-akibat dari perbuatannya. Jadi sore ini, saya tetap akan ajak ikhsan ke mesjid. Saya pengen membuktikan tentang konsep saya tentang"reward-punishment." Semoga ikhsan mengerti, tanpa saya harus marah-marah dengan kata-kata berintonasi tinggi.


Senin, 15 Agustus 2011

6th annyversary

14 Agustus 2011, usia pernikahan kami genap 6 tahun. Sungguh waktu berjalan begitu cepat. Dulu hanya berdua, sekarang formasi kami jadi bertiga.
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah, yang telah mencurahkan rahmatnya kepada kami.
Alhamdulillah selama 6 tahun ini, kami bisa saling belajar memahami, menyayangi dan mencintai. Walau kadang kala ada percik-percik perbedaan, itu membuat kami lebih menghargai satu sama lain.

Saya juga bersyukur mendapat suami yang sangat pengertian dan sabar dalam membimbing saya. Semoga keluarga kami senantiasa terbingkai menjadi keluarga yang sakinah mawadah wa rohmah dan dikaruniai anak-anak yang soleh dan solihah. Amien...
Luv you mas...

Rabu, 10 Agustus 2011

lepi baru


Saya lagi sumringah karena 2 minggu yang lalu mas mbelikan lepi baru buat saya. Sebenarnya semua pekerjaan bisa saya selesaikan di kantor. Saya juga jarang banget mengerjakan kerjaan kantor di rumah. Kalau di rumah ya melulu ngurusin ikhsan. Di kantor sudah ada kompi buat saya, jadi rasanya belum butuh lepi.

Memang sih sesekali saya pinjem lepi-nya mas buat ngerjakan kerjaan kantor. Nah, karena akhir-akhir ini saya beberapa kali dapat tugas keluar kantor yang mengharuskan saya bawa lepi sendiri, akhirnya mas berbaik hati mbeliin saya lepi. Alasannya daripada saya musti minjem lepi-nya mas. Ah, alasan apa pun, saya tetep jingkrak-jingkrak seneng hehe...

Bukan saya saja yang seneng, Ikhsan juga ikutan seneng soalnya bisa ikutan make lepi buat maen game atau buka gambar-gambar di google.

Sekarang saya jadi punya banyak kesempatan buat ngenet di rumah hehe.. tapi kalau ketahuan ikhsan, pasti deh saya yang harus ngalah. Ikhsan lagi seneng cari gambar-gambar pesawat di google. Selain itu juga heboh liat video pesawat landing di youtube.
Saya juga bisa melampiaskan hasrat untuk menulis. Semoga jadi rajin nulis dan apdet blog hehe..

Sekali lagi, makasih ya mas... ;)

Senin, 08 Agustus 2011

cincin terakhir

Maryati menghela nafas panjang. Tumpukan cucian kering yang menggunung di hadapannya menunggu untuk disetrika dan dirapikan. Kakinya sudah mulai menegang karena sudah lebih dari tiga jam berdiri pada posisi yang sama. Sementara tangannya sudah mulai berkeringat karena memegang setrika.

“Kalau capek, istirahat dulu mba,” suara Ida mengingatkan.

“Enggak kok Da, ga papa.”

“Lha tuh kayaknya dah capek banget,” sahut Ida. “Ntar jatah mba Mar, aku aja.”

Maryati terdiam. Sebenarnya tubuhnya masih kuat melakukan pekerjaan ini. Dia sudah terbiasa berdiri lebih dari empat jam untuk menyetrika baju-baju di konter laundry ini. Tapi banyak hal yang berputar-putar di kepalanya. Minggu ini adalah batas akhir Arman membayar uang seragam lomba baris berbaris. Ingatan Maryati melayang tentang percakapan dengan anaknya itu tadi malam.

“Ibu, hari sabtu besok Arman harus bayar uang seragam peleton inti di sekolah. Arman ga enak Bu, sama teman-teman, masak seragam dah dibawa tapi belum dibayar. Lomba baris berbaris peringatan HUT RI-nya senin depan. Gimana, bu?”

“Berapa to le?” tanya Maryati.

“Tigaratus limapuluh ribu,” jawab Arman pendek.

Walah kok larang banget to le? Lha ibu ga punya duit sebanyak itu sekarang. Ibu kan belum gajian. Sawah juga belum panen.”

“Nanti kalau peleton kami masuk 3 besar, maka kami diperbolehkan mengikuti seleksi Paskibraka tingkat provinsi. Kalau lolos seleksi, nanti bisa menjadi wakil propinsi untuk menjadi anggota Paskibraka di Jakarta,” jelas Arman meyakinkan ibunya.

“Ibu usahakan ya le,” kata Maryati pelan.

Arman terdiam dengan kepala tertunduk. Maryati memandang anak semata wayangnya itu dengan sedih. Dia tahu, adalah kebanggan bagi Arman bisa terpilih menjadi anggota peleton inti di SMA negeri terbaik di kota ini. Meski dia adalah anak seorang janda yang hidupnya pas-pasan. Maryati sangat bersyukur Arman termasuk anak yang pintar. Masuk di SMA itu, Maryati tidak mengeluarkan uang sepeser pun karena Arman mempunyai nilai hasil UAN SMP tertinggi dan akhirnya mendapat keringanan dari pihak sekolah.

Maryati menghela nafas panjang, ah seandainya mas Parjo masih hidup, dia bisa berkeluh kesah di dadanya yang bidang itu. mas Parjo pasti akan mendekap tubuhnya dan mengelus-elus kepalanya dengan lembut. Biasanya mas Parjo akan menenangkan hatinya dan membereskan urusan yang membuat keplaa Maryati pusing.

“Tenang saja jeng Mar sayang, biar mas Parjo yang urus,” ucap mas Parjo.

Ucapan itu selalu keluar dari mulut mas Parjo setiap kali Maryati berkeluh kesah.

Mas Parjo orang yang rajin dan ulet. Selain menggarap sawah, mas Parjo juga jadi makelar jual beli motor. Terkadang hasil penjualan motor bisa mencapai angka jutaan rupiah. Kehidupan Maryati dapat dikatakan tak pernah kekurangan. Setiap kebutuhan dan keinginannya selalu terpenuhi. Mas Parjo juga sangat mencintainya. Tak ada wanita lain di hatinya selain Maryati. Begitu juga Maryati, hanyalah mas Parjo, sosok laki-laki yang selalu menggetarkan hatinya.

Tapi mengapa mas Parjo begitu cepat meninggalkannya? Mengapa dia harus ditabrak orang yang tak bertanggungjawab itu? Maryati tidak siap untuk kehilangan tulang punggung keluarganya itu. Dia tidak siap untuk menjadi seorang janda yang harus menghidupi anak semata wayangnya yang masih berumur empat tahun. Sebuah beban yang berat bagi Maryati karena tidak banyak peninggalan dari mas Parjo. Hanya rumah dan sawah yang luasnya tak seberapa. Mengandalkan hasil dari sawah sama sekali tidak mencukupi untuk hidup. Apalagi Maryati masih harus menanggung ibu mertuanya yang sudah mulai sakit-sakitan sejak kematian mas Parjo.

Cukup lama Maryati terpuruk dalam kesedihan. Tapi setiap kali dia menatap mata Arman, dia dapat melihat sosok mas Parjo di sana. Mas Parjo seakan-akan meminta dia untuk bangkit dan menjaga Arman seperti angan-angan mereka dulu. Mereka selalu berangan-angan Arman menjadi anak yang pintar dan berbadan tegap. Mas Parjo sangat ingin, besok kalau Arman menginjak bangku SMA, dia bisa menjadi salah satu dari barisan anak-anak muda yang dengan tegap berbaris membawa dan mengibarkan bendera merah putih. Sebuah kebanggan, itu yang selalu dikatakan mas Parjo.

Maryati pun teringat akan kata-kata mas Parjo selanjutnya. Kita tidak pernah ikut berjuang mengangkat senjata untuk mengusir penjajah dari negeri kita. Sebagai warga negara, kita tetap harus menjaga kemerdekaan yang tidak mudah didapat ini. Kita harus bersyukur bahwa kita tidak lagi menjadi inlander di negeri sendiri. Sekarang kita bebas menentukan nasib kita sendiri. Kita bisa sekolah, bisa menikmati jalan yang beraspal halus dan bisa makan nasi tiap hari. Merah putih pun bisa dikibarkan tanpa perlu was-was Belanda memaksanya untuk diturunkan. Tanggal 17 Agustus adalah waktu yang sangat tepat untuk menunjukkan kebanggan kita terhadap merah putih dan bangsa ini.

Maryati tersadar. Ah, harapan mas Parjo untuk menjadikan Arman salah satu anggota Paskibra ada di depan mata. Kebanggaan itu. Binar bahagia di mata mas Parjo.

“Baik mas, Mar akan membuat harapan itu menjadi kenyataan. Anak kita pasti bisa menjadi kebanggan bangsa ini,” Maryati berbisik sambil membuka buntelan kecil yang selalu dia simpan di lemari.

Dikeluarkannya perlahan cincin kawin yang diberikan mas Parjo dulu. Dikecupnya perlahan seolah cincin itu mewakili mas Parjo. Selanjutnya hati Maryati pun mantap dan beranjak keluar. Toko emas adalah tujuannya. Dia akan menjual barang pemberian mas Parjo yang terakhir. Tak ada lagi cincin emas yang mewakili cinta mas Parjo. Tapi Maryati yakin, ini akan membuat Arman bahagia. Arman adalah representasi mas Parjo di kehidupannya. Maryati juga yakin Arman akan menjadi kebanggaan mas Parjo dan bangsa ini.

*gambar diambil dari http://elsaelsi.wordpress.com

Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan Cermin Blogger Bakti Pertiwi yang diselenggarakan Trio Abdul Cholik, Nia, Lidya

Sponsored By :

- http://www.kios108.com/

- http://halobalita.fitrian.net/

- http://topcardiotrainer.com/

- http://littleostore.com/

Selasa, 02 Agustus 2011

latihan puasa

Puasa di ramadhan tahun ini rasanya berbeda dengan tahun-tahun yang lalu. Biasanya selama bulan ramadhan, saya-ikhsan dan bapakna bisa sahur dan buka bareng, bisa tarawih berjamaah dan tadarus bareng. Tapi tahun ini, si bapak dapat tugas ke riau jadi rutinitas itu ga bisa dijalani. Karena ditinggal ke riau, jadi kami pulang ke rumah eyang di condong. Jadi puasa tahun ini kami lewati bersama eyang.


Puasa tahun ini, ikhsan dengan pede bilang kalau dia mau puasa. Alasannya biar kalau di sekolah ditanyain bu guru, "siapa yang puasa?" ikhsan bisa ikutan tunjuk tangan dan bilang,"saya...!"

Saya cuma bilang," ikhsan kan masih 4 tahun, jadi latihan puasa dulu ya?"

Ikhsan terdiam dan menunggu penjelasan saya.

"Jadi kalau latihan puasa, ikhsan tidak minum susu di siang hari. Minum susu-nya kalau sudah adzan maghrib. Kuat ga?" tantang saya.

"kuat..," jawab ikhsan mantaf banget.

Dan sejak mulai puasa, ikhsan ga minta minum susu kalau siang. Minumnya kalau malam hehe..


Setiap sore, saya dan ikhsan minus si bapak, berangkat ke mesjid buat ikut takjilan. Senengnya ikhsan ketemu banyak teman di mesjid. Setelah pada ngaji dan belajar hafalan surat-surat pendek, anak-anak langsung bersiap di depan makanan takjil. Begitu terdengar suara adzan, ikhsan dan anak-anak lain langsung pada bersorak gembira karena bisa minum dan makan...