Mau menceritakan tentang pernikahan sendiri kayaknya kurang mantaps karena usia pernikahan kami masih seumur jagung, baru 6 tahun. Nah, kali ini saya mau berbagi kisah tentang pernikahan orang tua saya.
Bapak saya berasal dari keluarga petani di sleman, sedangkan ibu dari keluarga guru di kutoarjo. Perbedaan budaya keluarga jelas terlihat diantara kelauarga besar bapak dan ibu. Keluarga besar ibu sangat mementingkan pendidikan dan pekerjaan sebagai pegawai negeri. Semua kakak dan adik ibu adalah pegawai negeri dan mengenyam pendidikan. Sedangkan dari keluarga bapak, karena latar belakang petani, maka pendidikan tidak begitu menjadi prioritas. Hanya beberapa orang anak dari embah yang jadi pegawai termasuk bapak. Selebihnya adalah bertani dan berdagang di pasar.
Bapak dan ibu adalah teman satu kantor, di yogya. Mereka bertemu di saat usia yang sudah tidak muda lagi. Usia bapak terpaut 4 tahun lebih muda dari ibu. Semua keluarga ibu memang merantau keluar dari kutoarjo. Ibu bekerja di sebuah universitas negeri di djogja, sementara ketiga adik dan kakaknya bekerja di jakarta. Karena sering bertemu sebagai teman kantor, lama-lama cinta mulai bersemi diantara bapak dan ibu.
Saya sering mendengar cerita dari bapak, bagaimana perjuangannya melakukan perjalanan dari sleman ke kutoarjo untuk melamar ibu. Bapak hanya ditemani kakak laki-lakinya naik bus jurusan kutoarjo dan kecopetan. Yah, dengan bekal yang tipis, tetep pede ngelamar ibu. Namanya juga sudah cinta.
Pernikahan digelar tanggal 12 agustus 1974. Kalau saya lihat foto-fotonya, kayaknya dulu acara pernikahan ibu di kutoarjo digelar cukup besar karena banyak tamu yang diundang. Maklum embah kakung adalah seorang guru, yang pada waktu itu masih sangat dihormati orang.
Oktober 1975 lahirlah anak pertama bapak-ibu, yaitu kakak saya kemudian disusul 3 orang anak lagi. Jadi formasi keluarga kami adalah 6 orang yang terdiri dari 3 orang anak perempuan dan 1 orang anak laki-laki.
Ibu yang memang tumbuh dari keluarga yang terdidik, selalu menerapkan konsep bahwa kami anak-anaknya harus menyenyam pendidikan tinggi. Kami harus kuliah dan nantinya bekerja. Apalagi sebagai anak perempuan, ibu selalu mewanti-wanti kami untuk bekerja.
”Jangan mengandalkan penghasilan dari suamimu. Kamu harus bekerja dan punya uang sendiri. Jadi kamu bisa memenuhi kebutuhanmu sendiri tanpa dituduh menghabiskan uang suami. Orang tidak akan bisa omong sembarang tentang kamu, karena kamu bekerja. Jadi perempuan harus kuat dan mandiri, ” kata ibu.
Nasehat itu sering sekali dilontarkan ibu kepada kami. Saya sendiri kurang begitu tahu latar belakang ibu mengenai konsep itu. Dari keluarga bapak, ada beberapa orang yang tidak begitu sreg dengan ibu. Cara pandang mereka tentang perempuan berbeda. Sebagai wanita dari keluarga petani, maka mereka beranggapan bahwa pendidikan bagi seorang wanita tidak begitu penting dan yang utama adalah mengurus rumah dan anak. Kalaupun bekerja, ya bekerja di sawah atau berjualan di pasar.
Sedangkan ibu berkonsep, kalau wanita harus sekolah dan pandai plus kalo bisa kerja kantoran. Nah lho, beruntung sekali bapak selalu bisa menjembatani perbedaan itu. Ibu selalu menjadi nomor satu bagi bapak karena bapak juga mendukung konsep pendidikan bagi anak-anaknya.
Alhamdulillah, kami berempat diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang baik. Bapak dan ibu memfasilitasi kami dengan baik. Saya selalu ingat perkataan ibu,” kalau kalian minta uang buat jajan, ibu tidak akan beri, tapi kalau kalian minta uang buat beli buku, pasti ibu beri.”
Dan alhasil kami semua ga berani minta uang buat macem-macem hihi.., takut dimarahi ibu.
Tahun 1997, ibu mengambil masa bebas tugas selama 2 tahun menjelang pensiun. Jadi ibu lebih fokus mengurus kami di rumah. Waktu itu saya dan 2 kakak perempuan saya masih berstatus jadi mahasiswa. Tahun 2000, adik laki-laki saya jadi mahasiswa juga. Jadi di tahun itu kami berempat yang hanya berselisih usia 2 tahunan itu menyandang status mahasiswa semua. Doh, kebayang besarnya biaya yang dikeluarkan bapak dan ibu untuk membayar biaya kuliah kami. Untungnya kami semua kuliah di universitas negeri di jogja, jadi biayanya tidak semahal universitas swasta.
Karena kesibukan kami di kampus, jadi kami selalu pulang di sore hari. Nah, kegiatan bapak dan ibu di rumah ketika tidak ada kami adalah mengobrol, membicarakan apa pun. Mereka berdua adalah partner yang cocok kalau lagi ngobrol. Bisa betah berjam-jam, kayak ga ada orang lain. Dunia serasa milik berdua dewh.. Pergi kemana-mana juga berdua. Saya juga ingat ketika ibu bikin kue atau masakan, bapak pasti turun tangan ikut membantu ibu di dapur. Pokoknya so sweet dewh pas ngeliatnya..
Ibu yang gemar bersosialisai, selalu ngajak bapak gabung perkumpulan-perkumpulan kayak pengajian, arisan dan sebagainya. Nah, bapak yang pada dasarnya pendiam dan tidak punya banyak teman akhirnya jadi ikut punya banyak kenalan dan teman karena ngantar dan nemani ibu. Ibu memang banyak omongannya.
Kalau di rumah, memang suasana yang ada terbangun karena ibu. Ketika ibu lagi marah, maka suasana rumah jadi serem tapi kalau ibu lagi seneng guyon, tak pelak lagi suasana rumah pasti cerah ceria. Dan kami pun terbiasa dengan suasana itu. Ibu adalah motor bagi keluarga kami. Semangat bagi bapak untuk menjalani hidup dengan bahagia dan semangat bagi kami anak-anaknya untuk belajar dan memperoleh nilai yang tinggi di sekolah.
Di bulan oktober tahun 2000, kakak saya yang pertama melangsungkan acara tunangan dengan calon suaminya. Seperti biasa, ibu mengerjakan banyak hal untuk acara itu. Kami semua tidak merasakan pertanda apa pun, ketika ibu sangat bersemangat mengerjakan semuanya sendiri. Waktu itu ibu tidak meminta bantuan dari saudara-saudara kami. Satu hari setelah acara itu, kondisi ibu menurun. Ibu merasakan badannya letih dan ingin tiduran terus. Kami menyangka itu karena keletihan ibu saja, yang mengerjakan apa pun sendiri. Keesokan harinya kami semua tetap beraktifitas ke kampus seperti biasa. Hanya bapak dan ibu di rumah, seperti biasa juga hanya mereka berdua.
Ketika saya pulang di sore hari, saya mendengar suara adik saya yang menangis meraung-raung. Perasaan saya sudah ga enak. Ketika saya masuk rumah, saya melihat ibu dibaringkan di atas kasur kamar adik saya. Ada bapak di sampingnya. Saya panik.
Bapak cuma bilang,” kita bawa ibu ke RS panti rapih, tadi ibu minta dibawa kesana.”
Dengan tergopoh-gopoh, kami membawa ibu yang sudah tidak sadarkan diri ke RS. Saya yang memangku ibu di dalam mobil. Sesampainya di RS, ibu dinyatakan terkena serangan stroke. Setelah di ct-scan, ternyata ada pembuluh darah saluran ke paru-paru yang pecah di otak. Kami semua shock dan terpukul. Malam itu ibu koma. Bapak tampak tenang menghadapi situasi itu. Tapi tampak jelas kegalauan di matanya. Beliau berusaha tegar di depan kami. Dokter secara halus sudah angkat tangan. Kemudian bapak meminta adik saya untuk pulang dan mengambil buku yasin. Malam itu kami secara bergiliran membacakan yasin untuk ibu. Tepat pukul 5 subuh keesokan harinya, ibu menghembuskan nafas terakhirnya. Kami semua menangis dan meneteskan air mata. Hanya bapak saja yang tampak tenang dan mencoba menahan air matanya tidak jatuh di pipi. Bapak kehilangan separuh nafasnya yang telah mendampingi selama 26 tahun pernikahan. 26 tahun bukan waktu yang sebentar, tetapi akan terasa pendek ketika seseorang yang dicintai pergi untuk selamanya.
Saya tidak melihat bapak terpuruk dalam kesedihan. Bapak adalah seorang laki-laki jawa yang sangat pandai menyimpan perasaan. Saya tahu bapak sangat bersedih kehilangan ibu. Tapi beban berat masih di pundaknya. Kami berempat masih kuliah semua dan belum ada yang lulus. Amanah ibu agar anak-anaknya sekolah tampaknya menjadi prioritas bapak.
Satu per satu kami wisuda tanpa melihat wajah ibu bangga atas kelulusan kami yang cumlaude. Tapi kami yakin ibu merasakannya. Pun ketika kami mendapat pekerjaan seperti yang diangan-angankan ibu, ibu tidak bisa menyaksikannya. Apalagi ketika kami menikah dan punya anak. Hanya Al fatihah dan doa yang terlantun untuk ibu.
Dan bapak tetap setia pada cinta ibu. Bapak tetap menduda untuk membesarkan kami dan melepaskan kami sampai pada jenjang pernikahan. Tahun ini adalah tahun ke 11 bapak ditinggal oleh ibu. Bapak tetaplah bapak kami yang tidak berubah seperti ketika ibu masih ada. Seorang bapak yang sabar dan nrimo ing pandum. Saya yakin bapak tetap menempatkan cinta ibu di sudut hatinya tanpa perlu orang lain ketahui. Bapak menyimpan perasaannya dengan sangat rapi. Bapak jarang sekali menceritakan rasa kehilangannya atas kepergian ibu, tapi sering kali bapak mengajak kami berkumpul dan mendoakan ibu. Juga mengajak ke makam ibu, untuk mendoakan dan sekedar membersihkan makamnya.
kisah ini diikutsertakan pada "A Story Pudding for Wedding" yang diselenggarakan oleh Puteri Amarilis dan Nia Angga
20 komentar:
mbak entik kisah ini tentu sangat membekas di hati mbak ya. kehilangan ibunda yg dicintai begitupun bapak pasti sangat kehilangan. semoga ibu tenang di sisi Nya ya mbak. terimakasih sudah ikutan story pudding ya mbak.
berbeda banget dgn klg saya ya mbak, ibu saya malah berhenti bekerja setelah menikah, saya juga begitu, kk & adik ipar juga sama, mereka full jadi ibu rumah tangga.
Yang sama, bapak saya juga jarang menceritakan rasa kehilangan istrinya (ibu saya meninggal 7 tahun yg lalu). Tapi saya tau, beliau sangat kehilangan ibu saya.
@mba pu: makasih sudah tercatat
@mba dey: tiap keluarga emang punya kebiasaan dan aturan yang beda ya? saya dan kedua kakak perempuan saya tetep kerja setelah nikah, seperti ibu saya.
Mbak aku nangis loch baca postingan ini....karena ibu saya juga masuk RS 2 minggu setelah saya menikah...trs seminggu di RS kemudian menghembuskan nafas terakhir....saya sering mendengar orangtua yg meninggal setelah menikahkan anaknya...baru kemarin juga saudara saya ada yg meninggal setelah seminggu menikahkan anaknya.....smoga arwah orangtua kita tenang di sisiNYA yach...aamiin...
Saya juga punya pemikiran yg sama dgn ibunya Mbak Entik....makanya smpe sekarang sy msh kerja. Kalaupun di rumah tp tetap bisa mneghasilkan uang...mudah2an...
sukses yach utk kontesnya...
Cerita yang menyentuh jeng. Semoga sukse di kontesnya ya jeng Entik :-)
@ mba Nia: kita punya story yang hampir sama ya mba..
@BunDit: ayok ikutan juga jeng..
terharu....hik hik.... eh kok masih punya fotonya.. hebad dokumentasinya....
terharu.....
eh ngomong2.. hebad dokumentasinya... fotonya itu loh masih ada.....
@bunda i-an: iya, foto2 nikahan bapak-ibu saya masih tersimpan rapi sampai sekarang
semoga ibu mendapatkan tempat terbaik disisi Allah yaa mbak.. ternyata ayah kita sama mbak, kemaren saja ketika si mbah saya meninggal (ibu dari ayah saya), ayah saya tenaaang banget.. meskipun saya tahu dia sangat sedih, tapi dia ingin mengajarkan arti ketegaran dan keikhlasan untuk saya dan saudara2 saya..
Huaaa merinding, terharu bngt.
Keluarga bpk dan ibuk ga ada yg jd sarjana. Hanya adekku yg skrg kuliah itupun dgn biaya sndr. Tp semua kerja sich meskipun pnddkn rendah hehe
@dhenok: ah, ternyata kita punya ayah yang setipe ya dhe..
@mba tarry: yang penting tetep punya semangat untuk bekerja mba.., pendidikan ga masalah
ibu orang yang inspiratif ya mbak,
setuju dengan prinsip beliau
Jadi ingat teman saya yang selalu menekankan bahwa meskipun telah menikah dan menjadi seorang ibu, hendaknya seorang wanita tetap bekerja. Alasannya sih supaya nggak diinjak2 oleh laki2, hehe...
Salut sama ibunya Mbak yang sangat mementingkan pendidikan :)
hiks terharu.. moga ntar pernikahanku juga bisa seperti pernikahan ortu mbak yah. till the end of time. amienn
tx buat partisipasinya ya
@ba monda: iya, bener mba..
@kakaakin: kalau saya sebagai wanita, seneng karena ibu mendukung untuk dapat pendidikan yang tinggi
@mba nia angga: amien, semoga pernikahan mba nia langgeng terus..
meskipun Ibunda sudah tiada, InsyaAllah beliau akan tetap bahagia di sana. memiliki suami yang setia dan anak-anak yang senantiasa menjadikan ibu sebagai semangat untuk terus belajar dan belajar hingga meraih apa yang almarhumah dulu inginkan.
salam
mbak, menyentuh bgt nih ceritanya..
menyentuh sekali jeng ceritanya. kalau di keluarga lain ada cerita tentang ibu yang hebat, bapak jeng entik juga tak kalah hebatnya. salut!
@bangauputih: amien.., semoga saja ya mba.
@ke2nai: makasih
@jeng isma: iya jeng, ternyata laki-laki juga bisa ngopeni anak dan rumah ya..
Posting Komentar