Selasa, 11 Mei 2021

Mengurangi Sampah Makanan Keluarga

“Bu.., tukang sampahnya sudah 3 hari ini tidak datang,” asisten rumah tangga saya melaporkan.

Duh, rasanya sebal sekali melihat tumpukan sampah di depan rumah. Tumpukan sampah itu jadi mengurangi estetika pandangan, apalagi kalau ada sampah basahnya jelas akan menimbulkan aroma yang tidak sedap. Urusan sampah yang telat diambil sekarang jadi masalah baru bagi orang-orang yang tinggal di perumahan dengan lahan terbatas seperti saya. Saya sendiri jadi sangat tergantung dengan keberadaan tukang sampah yang mengambil sampah rutin setiap dua hari sekali. Cilakanya kalau dia tidak datang dan tidak berkabar, hasilnya sampah akan menumpuk di depan rumah.

Kata sampah sebenarnya sangat familiar di telinga kita. Keluarga bahkan individu setiap hari pasti menghasilkan sampah baik sampah organik maupun non organik. Rumah tangga tanpa disadari menyumbang produksi sampah organik atau sampah sisa makanan yang cukup besar. Saya cukup kaget ketika membaca sebuah hasil penelitian bahwa Indonesia menduduki peringkat kedua setelah Arab Saudi dalam hal membuang sampah makanan.

Berdasarkan data dari Food Sustainable Index” (2018) terbitan The Economist Intellegent Unit bersama Barilla Center For Food and Nutrition Foundation, rata-rata setiap penduduk Indonesia membuang sekitar 300 kg makanan per tahun.  Menurut saya angka itu cukup besar karena di satu sisi jumlah penduduk Indonesia yang mengalami kurang gizi maupun gizi buruk tidak sedikit. Jadi ada ketimpangan dari jumlah makanan yang dibuang oleh rata-rata penduduk Indonesia dengan jumlah penduduk khususnya balita yang mengalami kurang gizi atau gizi buruk. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) litbang Kementerian Kesehatan, pada tahun 2018 ada 13,8 % balita di Indonesia yang mengalami kurang gizi dan 3,9 % lainnya menderita gizi buruk. Sementara itu 34,74 % rumah tangga di Indonesia masih memanfaatkan bantuan beras miskin dari pemerintah.

Menurut FAO sampah makanan adalah kehilangan makanan (food waste) yang terjadi selama proses produksi, distribusi dan konsumsi. Kehilangan dan pemborosan pangan paling banyak terjadi di tahap konsumsi. Pada saat orang mengkonsumsi makanan, tanpa disadari akan selalu ada makanan yang menjadi sampah karena makanan tidak habis dikonsumsi.

Saya akui hampir setiap hari, setelah selesai makan malam dan membereskan meja makan dapat dipastikan ada makanan yang dibuang karena tidak habis kami makan. Sebenarnya saya sedih juga kalau melihat sampah sisa makanan banyak berarti kami membuang makanan banyak juga. Membuang makanan sama saja membuang uang. Sangat mubadzir. Rasanya kok kurang bersyukur kalau selalu membuang makanan dalam jumlah banyak. Sudah diberi rejeki sama Allah kok kita sia-siakan dengan membuangnya. Bagaimana kalau nanti rejekinya dikurangi karena kita dianggap sudah cukup bahkan berlebihan makanan?

 Saat kita makan di resto pun kejadiannya tidak jauh berbeda. Kebanyakan orang berpikir asal kita membayar harga makanan maka urusan selesai. Tidak peduli makanan yang kita pesan itu habis ataukah bersisa banyak. Menu resto yang beragam akan menggoda kita untuk memesan aneka makanan. Kadang tidak terpikir apakah makanan yang kita pesan itu bisa masuk perut semua. Ketika akhirnya perut tidak mampu lagi menampung mau tidak mau kita harus berhenti makan. Biasanya sisa makanan yang dipesan pun kita tinggalkan begitu saja. Toh kita sudah membayar harga makanannya. Nasib makanan yang tersisa itu pun pasti akan berakhir di tempat sampah.

Sampah makanan jika tidak ditangani dengan baik akan membawa kerugian secara lingkungan dan ekonomi. Nilai ekonomi makanan yang terbuang menjadi sampah tidak sedikit. Data BPS tahun 2017 menunjukkan bahwa sampah makanan yang terbuang senilai 27 triliyun rupiah. Belum lagi dampak lingkungan yang ditimbulkan.

Saya sendiri baru menyadari bahwa saat kita membuang makanan, akan ada masalah yang mengikuti di belakang. Ini tidak hanya tentang mubazir tapi tentang keberlangsungan ketersediaan pangan untuk generasi mendatang dan juga keselamatan lingkungan. Kalau makanan yang kita buang semakin banyak, bagaimana kalau di masa depan ketersediaaan pangan semakin menipis? Apa yang akan kita makan?

Kesadaran untuk mengurangi sampah makanan perlu dibangun dari tataran terendah yaitu keluarga. Sekarang saya dan suami mulai tergugah untuk tidak mubadzir atas segala makanan yang terhidang di meja makan kami. Sebisa mungkin mengurangi jumlah sampah makanan yang dibuang setiap harinya.

Keluarga kami sekarang tergerak untuk memulai membangun gaya hidup minim sampah makanan. Saya percaya sekecil apa pun perubahan yang  kami lakukan, pasti akan memberi dampak pada keberlangsungan ketersediaan pangan, penghematan ekonomi dan juga kelestarian lingkungan.

Untuk mendukung hal itu, ada beberapa hal yang sudah mulai kami lakukan:

1.  Menetapkan niat

Semuanya diawali dengan niat. Saya percaya kekuatan pikiran yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Ketika niat sudah dicanangkan, saya dan suami saling sounding untuk mengurangi membuang sisa makanan. Setiap hari suami selalu mengingatkan saya, “ Masak ga usah banyak-banyak biar ga ada sisa.”

Sounding gaya hidup minim sampah makanan juga kami tularkan kepada anak-anak. Semakin sering mendengar sounding ini, kami harap pikiran mereka tergugah dan dengan ringan dapat tergerak untuk ikut mengurangi sampah makanan di keluarga kami.

 

2.  Mengambil makanan secukupnya dan menghabiskan

Saya selalu mengingatkan anak-anak untuk mengambil makanan sedikit dulu, kalau masih kurang bisa nambah dengan catatan harus dihabiskan. Alhamdulillah, anak-anak bisa memahami dan melakukannya.

Saya juga hanya menyiapkan makanan “sedikit” saja. Kira-kira habis dimakan 3 orang anak laki-laki dan bapaknya. Terkadang saya malah seneng kalau sayur dan lauk yang saya siapkan kurang, jadi mereka dengan rela berbagi dan mengambil lebih sedikit supaya yang lain kebagian.

“Ga papa ya, dapet jatahnya sedikit. IsyaAllah berkah dan rasanya akan lebih nikmat, “kata saya menenangkan anak-anak.

Anak-anak pun mengangguk dan saya melihat senyum tersungging di bibir mereka. Saya pun ikut tersenyum melihat mereka makan dengan lahab entah karena enak atau dapat jatah lebih sedikit. Mungkin ini yang namanya berkah makanan. Alhamdulillah.. ini salah satu cara kami mensyukuri nikmat Allah.

 

3.  Belanja bahan makanan secukupnya

Mulai sekarang saya belanja lebih sedikit. Walau terkadang ketika di warung sayur atau supermarket suka lapar mata melihat aneka sayuran dan makanan. Duh, kalau tidak ada niat yang bulat, saya yakin ibu-ibu kayak saya ini bakal kalap belanja dan sok-sokan pengen masak aneka macam sayur, lauk dan makanan. Ketika belanjaan masuk kulkas, ternyata ada banyak alasan untuk tidak menepati janji awal saat belanja tadi. Saat belanja mau masak ini itu, tapi ternyata kerjaan banyak dan tidak sempat. Alhasil sayuran banyak yang membusuk di kulkas karena kelamaan disimpan.

 

Untuk mengantisipasi, biasanya saya membuat rencana jadwal masak per dua hari dan jadwal belanja. Saya akan belanja sayur setiap dua hari sekali. Saya hanya akan belanja bahan makanan sesuai daftar belanja dan jadwal masak. Awalnya sering tergoda untuk melenceng dari dari daftar belanja tapi karena di awal niat sudah bulat jadi godaan itu bisa saya kalahkan.


ini belanja sayuran untuk dua hari.., sedikit saja.
 yang penting tidak banyak yang terbuang

4.  Menyetok bahan makanan secukupnya

Urusan menyetok bahan makanan pun menjadi secukupnya saja. Saya benar-benar membutuhkan perjuangan kuat supaya tidak berlebihan membeli bahan makanan dengan alasan untuk stok. Tidak mudah untuk mengubah kebiasaan ini, tapi semuanya harus dimulai.

Kulkas saya menjadi bukti bahwa saya tidak menyetok bahan makanan berlebihan. Setiap hari kulkas saya cenderung kosong dan bersih. Awalnya anak-anak protes mengapa sekarang di kulkas tidak berlimpah makanan??


isi kulkas saya yang minimalis

Butuh proses dan waktu untuk memberi pengertian kepada mereka bahwa ini adalah awal untuk menerapkan gaya hidup minim sampah makanan. Awal untuk mengurangi mubadzir makanan. Kita hanya akan menyimpan makanan yang pasti akan kita makan saja. Kita tidak akan kelaparan jika makan secukupnya. Lama-kelamaan mereka memaklumi dan menerima.

 

5.  Membungkus sisa makanan yang tidak habis dimakan kala di resto untuk dibawa pulang.

Makan di resto biasa kami lakukan seminggu sekali. Ini adalah moment yang ditunggu-tunggu anak-anak karena ini saat “makan enak”. Saya memberi kesepatan anak-anak untuk memesan makanan yang mereka sukai. Nah, sudah jadi kebiasaan saya kalau makanan yang kami pesan tidak habis, maka saya akan membungkusnya untuk dibawa pulang. Rata-rata pegawai resto akan dengan senang hati untuk membantu membungkusnya.


kalau pas makan di resto ada makanan yang tidak habis kami makan,
langsung saja "bungku..uuss" untuk nanti dihabiskan di rumah

Kami pernah pergi ke resto yang tidak mengijinkan membawa pulang makanan yang sudah dipesan. Tidak ada layanan bungkus makanan. Duh, kalau nemu resto kayak ini saya musti punya strategi tersendiri. Kalau mau pergi ke resto seperti itu, biasanya saya akan membawa wadah makan kosong atau plastik untuk persiapan membungkus makanan yang tidak habis kami makan saat itu. Sudah tidak ada rasa malu lagi membungkusnya hehe... Kalau diliatin orang cuek saja.

 

6.  Jika terpaksa ada sampah makanan, sebisa mungkin diberikan kepada binatang peliharaan (ayam/bebek) atau dibuat pupuk kompos.

Saya selalu memilah sampah basah dan sampah kering. Kalau sampah basah saya berikan ke tetangga untuk tambahan pakan ayam atau bebek peliharaannya. Sedangkan sampah kering diambil tukang sampah langganan.

 

Keluarga kami sudah memulai untuk menerapkan gaya hidup minim sampah makanan  Untuk lebih menguatkan langkah, kami juga mengumpulkan berbagai informasi seputar ini. bandung food smart city salah satunya. Tidak ada kata terlambat untuk memulai. Diawali dengan mencari informasi  seputar sampah makanan dan membualatkan niat untuk berpartisipasi mengurangi sampah makanan selanjutnya perubahan ada di tangan kita. Jadi tidak ada salahnya untuk saling bergandengan tangan mewujudkan lingkungan kita bebas sampah makanan. 

Bahan bacaan

https://tirto.id/f3Yn, Darurat Sampah Makanan di Indonesia,  

kemkes.go.id Laporan Riset Kesehatan Dasar, 

Tidak ada komentar: