Si kakak
bukannya nurut, tapi malah semakin bikin ulah. Hadew... ini emosi Ibu jadi
seperti roler coaster rasanya.
Mencoba menahan untuk tidak marah, tapi rasanya beraa..aat sekali.
Pernah dengar
kalimat seperti itu keluar dari mulut seorang Ibu? Atau mungkin teman-teman pernah
mengalaminya sendiri?
Saya yakin
kejadian semacam itu pernah dialami seorang Ibu, apalagi jika kondisi fisik Ibu
dalam keadaan lelah. Saya sendiri juga tidak memungkiri pernah mengalaminya.
Merawat dan
mendidik anak-anak bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Namun terkadang
sebagian Ibu seringkali merasa marah terhadap suami dan anak-anak padahal
mungkin mereka tidak punya kesalahan pada Ibu. Setelah marah pada anak,
kemudian ada rasa penyesalan di hati. Duh, rasanya emosi seperti roller coaster saja.
Ketika status
perempuan beralih menjadi Istri sekaligus Ibu maka akan terjadi perubahan
tanggung jawab yang besar. Perubahan status tersebut membuat perempuan harus menjalani
perannya dengan sederet tugas, baik dalam pengasuhan anak maupun pengelolaan
rumah tangga. Secara otomatis juga tugas sebagai manajer rumah tangga jatuh di
tangan Ibu.
Pada kenyataannya seorang ibu
berperan 2/3 lebih banyak menjalani tugas-tugas rumah tangga dan pengasuhan
anak dibandingkan para ayah. Selain tugas- tugas tersebut, seorang ibu juga
memiliki peran tambahan yang tak kalah pentingnya dalam keluarga yaitu sebagai
pusat emosi keluarga. Namun kadang hal ini sering terabaikan dan dianggap tidak
penting. Peran emosi Ibu sangat penting karena emosi seorang Ibu mempengaruhi
emosi keluarga.
Disadari maupun tidak, seorang perempuan
memegang peran pusat emosi dalam keluarga. Perempuan menentukan emosi anggota
keluarga. Teman-teman pernah merasakan tidak? Kalau kita bad mood tanpa sadar anggota keluarga yang lain ikut ketularan bad mood terutama suami dan anak.
Anak-anak agak rewel sedikit aja kita langsung kasih komentar negatif plus
intonasi tinggi. Suami juga ikutan kena semprot. Eaaa...tanpa sadar suasana
rumah jadi berasa “panas”.
Namun kebalikannya jika kita happy mood, maka si perasaan bahagia
juga bakal nular ke anak dan suami. Senyum Ibu yang merekah bakalan nularin
suami dan anak-anak untuk tersenyum. Nah kalau semua anggota keluarga happy maka suasana rumah akan terasa
nyaman untuk semua.
Secara teori, mengelola emosi sepertinya
mudah tapi pada kenyataannya mengelola emosi bagi seorang Ibu tidaklah mudah. Peran
sebagai istri dan ibu membebankan tanggung jawab yang besar bagi perempuan.
Banyak faktor yang bisa menjadi stresor emosi negatif seperti lelah secara
fisik, tumpukan pekerjaan kantor dan rumah, finansial,
lingkungan sosial, dan ketidakmampuan mengelola emosi dengan baik.
Faktor-faktor tersebut sangat mempengaruhi emosi Ibu. Apabila kemampuan
mengelola emosi tidak baik, maka emosi yang akan keluar adalah emosi negatif.
Emosi negatif bernampak negatif bagi diri sendiri dan lingkungan keluarga.
Pokoknya yang bakal kita rasakan adalah dampak negatif. Anak-anak jadi susah
untuk diatur plus suami jadi ikutan jutek karena muka kita juga jutek. Ga enak
banget kan?
Nah, untuk meminimalisir dampak dari emosi negatif
sebaiknya kita perlu belajar untuk mengelola emosi kita.
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan emosi?
Ada banyak definisi emosi, saya ambil dari kamus besar bahasa Indonesia, yang
dimaksud dengan emosi adalah keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis
(seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan). Dari definisi itu bisa
dilihat bahwa yang namanya emosi itu ada dua macam yaitu emosi positif
(gembira, bahagia, kecintaan, semangat) dan emosi negatif (sedih, marah,
takut).
Emosi positif berdampak positif bagi orang
tersebut dan lingkungannya. Sebaliknya emosi negatif akan berdampak negatif
juga bagi orang tersebut dan lingkungannya. Coba kita ingat-ingat kembali, jika
kita merasa bahagia hati rasanya senang dan enak banget tapi kalau lagi bad mood rasanya pengen marah aja.
Pelampiasan rasa marah bisa “tertumpah” pada anak atau suami.
Bagi seorang Ibu, emosi negatif perlu
dikelola dengan baik karena dampaknya ga bagus bagi anggota keluarga yang lain.
Pengelolaan emosi jelas membutuhkan effort
yang besar dari Ibu karena Ibu adalah pusat emosi bagi keluarga. Ibu
diharapkan bisa mendengarkan suami dan anak, memahami pikiran dan perasaan
mereka juga memberikan dukungan serta apresiasi. Oleh karena itu Ibu kudu
pintar mengelola emosi terutama emosi negatifnya.
Apabila Ibu merasa marah ketika menghadapi
anak yang berulah dan ingin mengeluarkan rasa marahnya kepada anak, apa yang
harus dilakukannya untuk mengontrol emosi negatif tersebut? Secara umum kita
harus me-release emosi tersebut. Emosi
harus dikeluarkan secara pelan-pelan.
Ada beberapa teknik yang bisa dilakukan
antara lain:
1. Menghitung
1 sampai 10 secara perlahan di dalam hati, menarik nafas panjang dan mulai
membaca istighfar. Menurut dr. Aisah Dahlan, dengan membaca istighfar,
paru-paru mengambil oksigen 5 liter dan oksigen akan membantu otak untuk me-release
emosi. Bisa dilakukan berulang-ulang sampai emosi membaik dan kita merasa lebih
tenang.
2. Selanjutnya
setelah tenang, coba munculkan empati pada anak. Pandangi matanya bayangkan
kita ada di posisi anak. Terkadang pemicu masalah adalah
hal sepele. Misalnya kasus anak yang rewel coba kita cari tahu penyebabnya apakah ia lapar, mengantuk, lelah atau hanya ingin perhatian dari kita. Mari kita coba pahami perkembangan psikologis anak yang sedang dalam tahap aktif dan senang bereksplorasi. Kalau kita dalam keadaan seperti itu mungkin kita juga bad mood. Reaksi umum anak yang bad mood adalah rewel.
hal sepele. Misalnya kasus anak yang rewel coba kita cari tahu penyebabnya apakah ia lapar, mengantuk, lelah atau hanya ingin perhatian dari kita. Mari kita coba pahami perkembangan psikologis anak yang sedang dalam tahap aktif dan senang bereksplorasi. Kalau kita dalam keadaan seperti itu mungkin kita juga bad mood. Reaksi umum anak yang bad mood adalah rewel.
3. Ibu
bisa menegur tindakan anak yang dianggap tidak baik dilanjutkan dengan pujian
terhadap perilaku anak. Dr Aisah Dahlan menyarankan untuk menegur anak selama ½
menit selanjutnya ½ menit berikutnya adalah memuji perilaku anak.
Contoh:
“Kalau
kakak merebut mainan adik, dia juga bisa marah lho. Kakak bilang dulu sama
adik.” ( teguran ½ menit, intonasi suara agak naik).
Ambil
jeda, selanjutnya kita bisa istighfar dan ambil nafas panjang untuk mengubah
emosi kita untuk memujinya.
“Kakak
biasanya bisa main bareng dan akur sama adik. Kakak sayang kan sama adik..”
(pujian ½ menit, intonasi suara lembut).
Langkah
ini, jelas memerlukan latihan berkali-kali karena dituntut perpindahan emosi
Ibu yang halus. Di awalnya saya masih sering gagal, durasi menegur bisa sampai
10 menit dan durasi memuji cuma ½ menit. Hasilnya si kakak terlanjur tersulut
emosi marahnya dan malah jadi tantrum L
Huhu...jadi
masih gagal. Beberapa kali mencoba, akhirnya saya mulai bisa menegur dengan
durasi ½ menit dan dilanjutkan dengan memujinya. Saya juga belajar menjaga
intonasi suara saya. Karena tidak jarang, kita memuji anak tetapi intonasi
suara masih intonasi marah. Ini yang susyah sekali dilakukan.
Butuh
niat yang bulat dan latihan berkali-kali untuk mendapat hasil yang maksimal.
Saya baru mencoba cara ini selama lebih kurang 1 bulan dengan beberapa kali
kegagalan dan sekarang saya lebih bisa mengontrol emosi negatif. Dampak lainnya
anak-anak lebih mudah dikendalikan karena saya bisa mengontrol emosi. Hati saya
cepet “plong” ketika emosi negatif terkontrol. Alhamdulillah, saya dan mas
suami merasakan suasana rumah sekarang lebih damai karena anak-anak lebih mudah
diarahkan.
Jadi
benar, kalau Ibu dalah pusat emosi di keluarga. Ibu harus bisa mengontrol emosi
sehingga anggota keluarga yang lain juga ikut belajar mengontrol emosi.
Kesimpulannya kita boleh marah tapi ada ilmunya. Susah dilakukan tapi bisa kita
pelajari. Jika berhasil, hati rasanya damai banget
3 komentar:
hi hi hi saamaan deh kayaknya kita
@mba fitri: hehe.. toss ah
Posting Komentar