Kamis, 22 Juni 2017

Pilih Lima atau Enam Hari Sekolah?


Tema lima hari sekolah dari hari senin-Jumat selama 8 jam, sekarang menjadi perbincangan yang hangat bagi orang tua yang mempunyai anak usia sekolah. Wacana lima hari sekolah ini digulirkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2017 yang menyebutkan bahwa hari sekolah dilaksanakan delapan jam sehari atau 40 jam selama lima hari (Senin-Jumat). Jadi anak-anak akan berada di sekolah dari jam 07.00 pagi sampai jam 15.00 sore. Dan rencananya kebijakan ini akan dimulai Juli mendatang bersamaan dengan tahun ajaran baru 2017/2018.

Beberapa hari yang lalu pas nganter Ikhfan ke TK, saya sudah dicegat ibu-ibu yang lain diajak ngobrolin wacana 5 hari sekolah itu. Sebagian besar merasa galau, karena belum bisa membayangkan bagaimana prakteknya 5 hari sekolah. Kekhawatiran anak akan merasa kelelahan di sekolah sampai bagaimana makan siangnya? Sebagian ibu-ibu ini mempunyai anak yang duduk di TK Bdan akan masuk SD pada tahuan ajaran 2017/2018 ini.  Jadi bisa dipahami kalau mereka terlihat galau membayangkan anak mereka akan sekolah dari pagi sampai sore.

Yang paling membuat galau adalah urusan makan siang anak-anak. Kalau di sekolah tidak menyediakan catering berarti harus bawa bekal makan siang dari rumah. Nah, untuk menyiapkan bekal makan siang yang sehat dan bergizi bakal jadi kerepotan tersendiri bagi ibu-ibu


“Kalau nanti akhirnya anakku malah jajan di sekolah yang jajanan ga sehat itu nanti gimana? Kalau malah kena sakit typus gimana?” kegalauan terlontar dari bibir mereka.

“Apa ya, bener ntar Juli dilaksankan tuh lima hari sekolah? Lha kalau anak-anak yang kelas 1 SD pada ngantuk gimana?” komentar lain bermunculan.

Ah, pembahasannya semakin hangat karena ibu-ibu itu melihat dari sudut pandang mereka sendiri-sendiri. Saya pun berkomentar dari sudut pandang saya. Kemarin (Rabu, 14 Juni 2017) saya sempat membaca wawancara Kompas dengan Menteri Pendidikan mengenai hal ini. Disebutkan bahwa esensi dari kebijakan lima hari sekolah itu adalah Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang wujudnya bukan berupa materi pelajaran yang diajarkan di depan kelas, melainkan dalam bentuk kegiatan di bawah tanggung jawab guru dan sekolah. Tambahan 2 jam (dari jam 13.00-15.00) diisi dengan kegiatan ekstrakurikuler, termasuk juga kegiatan krida, karya ilmiah, atau olah bakat.
Jadi istilah yang dipakai bukan full day school tapi PPK dan pelaksanaannya tergantung kesiapan sekolah masing-masing.

foto: Koleksi Pribadi
Saya baca di pasal 9 Peraturan Menteri ini, disebutkan bahwa pemerintah baik pusat dan daerah (sesuai kewengangannya) wajib menjamin pemenuhan sumber daya pada sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah termasuk akses transportasinya. So menurut persepsi saya, untuk pemenuhan sumber daya sekolah negeri akan di support oleh pemerintah. Namun pemenuhannya secara bertahap. Kalau sekolah tersebut menyatakan diri sudah siap maka, kebijakan lima hari sekolah dapat dilaksanakan.

Lima hari sekolah bagi anak-anak yang orang tuanya bekerja dan mempunyai hari libur yang jatuh pada hari sabtu-minggu memang rasanya pas karena anak-anak mempunyai hari libur yang sama dengan orang tua. Kalau untuk orang tua yang tidak bekerja kantoran seperti di pedesaan, mungkin perlu adaptasi dengan waktu sekolah anak. Masa adaptasi inilah yang takes time dan mungkin akan ada riak-riak masalah dalam proses itu karena terkait adat kebiasaan masyarakat Indonesia yang sangat beragam. Kebiasaan kegiatan anak di sore hari seperti mengikuti madrasah, TPA, kegiatan hobi atau bahkan membantu orang tua bekerja mungkin akan sdikit terganggu dengan perubahan waktu sekolah menjadi 5 hari. Ada lagi misalnya tentang hal-hal khusus seperti anak yang kesehatannya tidak begitu fit dibanding anak-anak yang lain, sehingga kalau beraktivitas di sekolah sampai sore sangat melelahkan tubuhnya. Masa adaptasi inilah yang membutuh bertahun-tahun sampai ketemu titik keseimbangan. Tidak bisa ujug-ujug langsung menjadi keseimbangan kebiasaan dalam masyarakat.

Jika dilihat, sebenarnya, waktu libur sabtu-minggu memang memberi kesempatan bagi orang tua untuk memanfaatkan waktu bersama anak-anak. Quality dan quantity time anak-orang tua diharapkan akan semakin terjalin. Dengan catatan, orang tua berkesadaran penuh untuk memanfaatkan waktu itu bersama anak-anak sehingga komunikasi yang baik akan terbangun. Kesadaran memanfaatkan waktu bersama anak adalah sebuah komitmen yang tidak mudah bagi orang tua. Sadar atau tidak terkadang orang tua “mengabaikan” anak ketika di rumah. Misalnya saja ketika gadget sudah di tangan, waktu akan tersita oleh gadget entah itu urusan pekerjaan orang tua atau hanya untuk sekedar fun. Sebagian besar orang tua pasti memiliki smartphone berbasis android dan sepertinya menjadi sesuatu yang lumrah ketika anak mengajak bicara orang tua, tetapi tatapan mata orang tua ada di layar handphone.

Jadi adanya hari libur sabtu dan minggu bagi anak membutuhkan komitmen yang tinggi dari orang tua untuk memanfatkannya karena sebenarnya pendidikan anak bermuara di rumah. Bahkan banyak pakar parenting mengatakan bahwa pendidikan pertama anak adalah Ibu. Ketika orang tua (rumah) tidak lagi mampu memberikan pendidikan bagi anak maka lahirlah sekolah yang mengisi kekurangan itu.

Saya sendiri tidak ingin masuk pusaran pro kontra kebijakan lima hari sekolah yang rencananya akan digulirkan pemerintah pada awal tahun ajaran 2017/2018 bulan Juli ini. Biarlah pemerintah yang memikirkan dan menyiapkan segala sarana dan prasarana untuk mendukung program PPK tersebut. Adanya pemikiran mengenai masalah sebaiknya program itu sebaiknya dilakukan secara bertahap, dipilih sekolah-sekolah sebagai sekolah percontohan di daerah, urusan makan siang anak di sekolah, kesiapan guru untuk mengisi kegiatan PPK dan support pembiayaan pengadaan prasarana yang mendukung dari Pemda sebaiknya memang dipikirkan oleh Pemerintah. Mari kita berdoa saja semoga kebijakan ini memberi dampak positif bagi pembangunan generasi bangsa Indonesia yang berkarakter baik.

Sebagai orang tua, ambil saja porsi bagian kita dari kebijakan itu. Saya sendiri lebih prepare pada bagaimana bisa spend quality time di waktu weekend bareng Ikhsan-Ikhfan. Kebetulan Ikhsan sekolah di sekolah berbasis agama Islam hari Senin-Jumat, jam 07.00-14.30 sedang Ikhfan sekolah di TKIT hari Senin-Jumat jam 08.00- 11.30. Kami berempat mempunyai hari libur yang sama yaitu Sabtu-Minggu.

Pengalaman saya, ketika hari sabtu datang, hasrat hati ingin tidur molor dan gelegoran di kasur sepanjang siang untuk menghilangkan penat bekerja seminggu. Tetapi ternyata hal itu kontra dengan keinginan Ikhsan-Ikhfan yang minta ditemani bermain atau mengajak jalan-jalan keluar. Kami musti kuat hati mengalahkan keinginan untuk gelegoran istirahat di kasur dan akhirnya kami ikutan mereka main, demi memanfaatkan waktu kebersamaan.

So, semoga kebijakan lima hari sekolah ini diimbangi dengan persiapan yang matang dari semua pihak yang berwenang termasuk orang tua. Kita menginginkan Indonesia mempunyai generasi yang berkarakter baik. Jadi berperan serta dan mengambil porsi sesuai kewenangan kita masing-masing menurut saya adalah sesuatu yang lebih bermakna. Sebagai orang tua, persiapan manajemen waktu dengan anak-anak terkait jam sekolah mereka juga harus benar-benar dipersiapkan. Semoga hal ini tidak menjadi beban masalah baru bagi orang tua dan anak.

Support dari Pemerintah untuk mensosialisasikan tentang pentingnya peran keluarga dalam pendidikan perlu terus digulirkan sampai ke level masyarakat terbawah supaya keluarga (orang tua) benar-benar bisa mengambil perannya dalam pendidikan anak untuk mewujudkan generasi bangsa yang lebih baik.


4 komentar:

Santi Dewi mengatakan...

saya juga sempat galau dgn full day school ini karena anak saya jam 14.00 sekolah agama

Kartika Nugmalia mengatakan...

Sebenernya memang asyik kalau 5 harinsekolah ya mak, weekend bisa liburan bareng keluarga. Tapi kalau terlalu siang pulangnya, beneran keder nyiapin makan siang deh

Unknown mengatakan...

Pendidikan keluarga memang mengambil porsi terbesar, sedangkan pendidikan sekolah dan lingkungan sebagai pembentuk karakter sosial anak.

Fanny f nila mengatakan...

Krn ankku msh kecil, aku blm ngerasain bakal gmn bedanya sih mba :D. Ntahlah.. Kalo skr ini aku cendrung setuju, krn aku sendiri toh kerja.. Jd kalo anak sabtu minggu ga sekolah, biar sama kayak aku kan liburnya :) .. Aku liat nanti dulu gmn bakal berjalan.. Tp setuju ttg makanan.. Hrsnya dr sekolah menyediakan catering yg baik yaa.. Kalo ga gitu, berarti pengasuh anakku ditambahin job desknya, hrs masak utk makan siang anakku :D