Senin, 08 Agustus 2011

cincin terakhir

Maryati menghela nafas panjang. Tumpukan cucian kering yang menggunung di hadapannya menunggu untuk disetrika dan dirapikan. Kakinya sudah mulai menegang karena sudah lebih dari tiga jam berdiri pada posisi yang sama. Sementara tangannya sudah mulai berkeringat karena memegang setrika.

“Kalau capek, istirahat dulu mba,” suara Ida mengingatkan.

“Enggak kok Da, ga papa.”

“Lha tuh kayaknya dah capek banget,” sahut Ida. “Ntar jatah mba Mar, aku aja.”

Maryati terdiam. Sebenarnya tubuhnya masih kuat melakukan pekerjaan ini. Dia sudah terbiasa berdiri lebih dari empat jam untuk menyetrika baju-baju di konter laundry ini. Tapi banyak hal yang berputar-putar di kepalanya. Minggu ini adalah batas akhir Arman membayar uang seragam lomba baris berbaris. Ingatan Maryati melayang tentang percakapan dengan anaknya itu tadi malam.

“Ibu, hari sabtu besok Arman harus bayar uang seragam peleton inti di sekolah. Arman ga enak Bu, sama teman-teman, masak seragam dah dibawa tapi belum dibayar. Lomba baris berbaris peringatan HUT RI-nya senin depan. Gimana, bu?”

“Berapa to le?” tanya Maryati.

“Tigaratus limapuluh ribu,” jawab Arman pendek.

Walah kok larang banget to le? Lha ibu ga punya duit sebanyak itu sekarang. Ibu kan belum gajian. Sawah juga belum panen.”

“Nanti kalau peleton kami masuk 3 besar, maka kami diperbolehkan mengikuti seleksi Paskibraka tingkat provinsi. Kalau lolos seleksi, nanti bisa menjadi wakil propinsi untuk menjadi anggota Paskibraka di Jakarta,” jelas Arman meyakinkan ibunya.

“Ibu usahakan ya le,” kata Maryati pelan.

Arman terdiam dengan kepala tertunduk. Maryati memandang anak semata wayangnya itu dengan sedih. Dia tahu, adalah kebanggan bagi Arman bisa terpilih menjadi anggota peleton inti di SMA negeri terbaik di kota ini. Meski dia adalah anak seorang janda yang hidupnya pas-pasan. Maryati sangat bersyukur Arman termasuk anak yang pintar. Masuk di SMA itu, Maryati tidak mengeluarkan uang sepeser pun karena Arman mempunyai nilai hasil UAN SMP tertinggi dan akhirnya mendapat keringanan dari pihak sekolah.

Maryati menghela nafas panjang, ah seandainya mas Parjo masih hidup, dia bisa berkeluh kesah di dadanya yang bidang itu. mas Parjo pasti akan mendekap tubuhnya dan mengelus-elus kepalanya dengan lembut. Biasanya mas Parjo akan menenangkan hatinya dan membereskan urusan yang membuat keplaa Maryati pusing.

“Tenang saja jeng Mar sayang, biar mas Parjo yang urus,” ucap mas Parjo.

Ucapan itu selalu keluar dari mulut mas Parjo setiap kali Maryati berkeluh kesah.

Mas Parjo orang yang rajin dan ulet. Selain menggarap sawah, mas Parjo juga jadi makelar jual beli motor. Terkadang hasil penjualan motor bisa mencapai angka jutaan rupiah. Kehidupan Maryati dapat dikatakan tak pernah kekurangan. Setiap kebutuhan dan keinginannya selalu terpenuhi. Mas Parjo juga sangat mencintainya. Tak ada wanita lain di hatinya selain Maryati. Begitu juga Maryati, hanyalah mas Parjo, sosok laki-laki yang selalu menggetarkan hatinya.

Tapi mengapa mas Parjo begitu cepat meninggalkannya? Mengapa dia harus ditabrak orang yang tak bertanggungjawab itu? Maryati tidak siap untuk kehilangan tulang punggung keluarganya itu. Dia tidak siap untuk menjadi seorang janda yang harus menghidupi anak semata wayangnya yang masih berumur empat tahun. Sebuah beban yang berat bagi Maryati karena tidak banyak peninggalan dari mas Parjo. Hanya rumah dan sawah yang luasnya tak seberapa. Mengandalkan hasil dari sawah sama sekali tidak mencukupi untuk hidup. Apalagi Maryati masih harus menanggung ibu mertuanya yang sudah mulai sakit-sakitan sejak kematian mas Parjo.

Cukup lama Maryati terpuruk dalam kesedihan. Tapi setiap kali dia menatap mata Arman, dia dapat melihat sosok mas Parjo di sana. Mas Parjo seakan-akan meminta dia untuk bangkit dan menjaga Arman seperti angan-angan mereka dulu. Mereka selalu berangan-angan Arman menjadi anak yang pintar dan berbadan tegap. Mas Parjo sangat ingin, besok kalau Arman menginjak bangku SMA, dia bisa menjadi salah satu dari barisan anak-anak muda yang dengan tegap berbaris membawa dan mengibarkan bendera merah putih. Sebuah kebanggan, itu yang selalu dikatakan mas Parjo.

Maryati pun teringat akan kata-kata mas Parjo selanjutnya. Kita tidak pernah ikut berjuang mengangkat senjata untuk mengusir penjajah dari negeri kita. Sebagai warga negara, kita tetap harus menjaga kemerdekaan yang tidak mudah didapat ini. Kita harus bersyukur bahwa kita tidak lagi menjadi inlander di negeri sendiri. Sekarang kita bebas menentukan nasib kita sendiri. Kita bisa sekolah, bisa menikmati jalan yang beraspal halus dan bisa makan nasi tiap hari. Merah putih pun bisa dikibarkan tanpa perlu was-was Belanda memaksanya untuk diturunkan. Tanggal 17 Agustus adalah waktu yang sangat tepat untuk menunjukkan kebanggan kita terhadap merah putih dan bangsa ini.

Maryati tersadar. Ah, harapan mas Parjo untuk menjadikan Arman salah satu anggota Paskibra ada di depan mata. Kebanggaan itu. Binar bahagia di mata mas Parjo.

“Baik mas, Mar akan membuat harapan itu menjadi kenyataan. Anak kita pasti bisa menjadi kebanggan bangsa ini,” Maryati berbisik sambil membuka buntelan kecil yang selalu dia simpan di lemari.

Dikeluarkannya perlahan cincin kawin yang diberikan mas Parjo dulu. Dikecupnya perlahan seolah cincin itu mewakili mas Parjo. Selanjutnya hati Maryati pun mantap dan beranjak keluar. Toko emas adalah tujuannya. Dia akan menjual barang pemberian mas Parjo yang terakhir. Tak ada lagi cincin emas yang mewakili cinta mas Parjo. Tapi Maryati yakin, ini akan membuat Arman bahagia. Arman adalah representasi mas Parjo di kehidupannya. Maryati juga yakin Arman akan menjadi kebanggaan mas Parjo dan bangsa ini.

*gambar diambil dari http://elsaelsi.wordpress.com

Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan Cermin Blogger Bakti Pertiwi yang diselenggarakan Trio Abdul Cholik, Nia, Lidya

Sponsored By :

- http://www.kios108.com/

- http://halobalita.fitrian.net/

- http://topcardiotrainer.com/

- http://littleostore.com/

8 komentar:

Lidya mengatakan...

terima kasih sudah ikut berpartisipasi, akan segera dicatat sebagai peserta

entik mengatakan...

Terima kasih ibu Juri ;)

Nia mengatakan...

Terimakasih atas partisipasi sahabat dalam kontes CBBP
Artikel sudah lengkap....
Siap untuk dinilai oleh tim Juri....
Salam hangat dari Jakarta....

Bundit mengatakan...

Sukses ya jeng dengan kontesnya :-)

Tarry Kitty mengatakan...

Jd ingat ibuku dl menjual cincin kenang2an dr Arab satu2nya buat byr kursus komputer adek. Dgn harapan jd orang sukses. Dan trnyt do'a beliau terkabul
Kdng2 mengorbankan brng berharga untuk sesuatu yg lbh pntng itu suatu keharusan ^^

entik mengatakan...

@BunDit: yup..,makasih. Lagi semangat ikut kontes, secara belum pernah menang kontes hihi...

@Tary: betul, hidup adalah pengorbanan

Dhenok mengatakan...

itulah hebatnya ibu, dan bahkan mungkin seluruh ibu pun akan melakukan hal yang sama untuk membahagiakan anaknya.. sukses kontesnya mbak.. :)

Orin mengatakan...

Judulnya keren Bu, ceritanya apalagi ckckck... Gudlak ah ;)