Pernahkah teman-teman marah, jengkel atau ngomel pada anak? Saya yakin pasti pernah walau cuma sekali saja. Untuk menjadi marah memang mudah. Setiap orang pasti mampu untuk marah terhadap sesuatu atau seseorang. Dan akan paling mudah marah terhadap anak. Apalagi jika anak melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan pikiran dan kehendak kita. Posisi kita sebagai orang tua menjadi posisi yang superior untuk marah terhadap anak yang masih kecil. Tetapi, marah yang tepat tidaklah mudah. Marah pada waktu yang tepat dan pada orang yang tepat dengan cara yang baik, bukanlah sesuatu yang mudah.
Bagi orangtua yang beraliran konservatif dalam mendidik anak, akan selalu merasa berhak untuk marah, bila merasa jengkel dan tidak menyukai perilaku anak. Hak ini didukung oleh argumen, bahwa kemarahan orangtua adalah demi kebaikan terhadap anak itu sendiri. Tujuan ini tentu saja dibenarkan, namun kadar, waktu, dan cara marah yang keliru, sering menimbulkan suasana semakin ruwet. Orangtua semakin marah, anak semakin memberontak. Orangtua mengecap anaknya sebagai anak yang bandel, nakal, suka membantah orangtua, sementara anak melakukan penyelesaian masalah dengan caranya sendiri. Misalnya dengan lari dari suasana rumah, berkeliaran di mal-mal, pulang larut malam, atau bahkan terlibat dalam obat-obatan terlarang.
Untuk itu dibutuhkan tidak saja ketrampilan kognitif intelektual manakala orangtua akan menggunakan hak marahnya kepada anak, melainkan juga dituntut adanya ketrampilan emosional. Keterampilan kognitif intelektual tampak dari tujuan marah yang ilmiah, yakni karena kamu salah maka ibu dan bapak berhak untuk marah. Keterampilan emosional, tampak dari bagaimana ketepatan orangtua untuk mengekspresikan marahnya secara tepat.
Daniel Goleman menyodorkan empat langkah alternatif marah yang tepat terhadap anak. Empat langkah ini terdiri atas strategi SOCS (Situation, Option, Consequence, dan Solution). Artinya kita harus mengetahui:
1. situasi psikologis anak (badan anak capek, pikiran masih kacau atau anak memang tipe pemberontak)
2. alternatif hal-hal yang bisa dilakukan terhadap anak (menasehati langsung, menasehati tetapi ditunda setelah anak memiliki waktu yang tepat, menasehati biasa, menasehati dengan nada keras, dsb)
3. memikirkan segala konsekuensinya (anak menerima tanpa syarat, diterima dengan syarat, atau anak menolak nasihat orangtua)
4. mengetahui solusi yang bisa digunakan untuk mengatasi masalah anak.
Dari pengalaman saya, memang mengelola rasa marah terhadap anak sangat sulit. Terkadang saya kelepasan juga mengeluarkan kata-kata yang berintonasi agak keras terhadap Ikhsan kalau dia menolak nasehat saya dan tetap melakukan perbuatan yang menurut saya tidak tepat. Seperti kejadian kemarin sore ketika saya mengajak Ikhsan untuk buka bersama di masjid. Di masjid , setelah diisi pengajian menjelang buka, anak-anak termasuk Ikhsan pada ribut. Saya pikir itu wajar, namanya juga anak-anak, kalau ketemu teman-temannya pasti akan ramai. Mereka tidak bisa disuruh duduk berdiam diri menunggu adazan maghrib berkumandang seperti orang dewasa. Dan ketika sound sistem mesjid dicoba, orang yang nyoba ngetes mic-nya berkata," tes..tes.."
Mendengar itu, Ikhsan tertawa dan langsung menirukan dengan teriakan keras, "bas...bas...base.."
Nah, anak-anak yang lain tampaknya merasakan sensasi senang dengan menirukan apa yang dikatakan ikhsan. Jadi semua anak pada bilang, "bas...bas...base..," dengan suara lantang. Bisa dibayangkan betapa ramainya suasana mesjid waktu itu. Sampai saat buka puasa tiba, anak-anak dengan dipimpin ikhsan & yudis masih pada ribut bilang, "bas...bas...base..."
Saya mencoba memberitahu ikhsan supaya jangan teriak-teriak seperti itu, karena setiap kali ikhsan mengucapkan kata-kata itu, anak-anak lain akan mengikutinya. Sebentar kemudian ikhsan menuruti kata-kata saya, tapi selang beberapa menit diulang lagi. Doh, ampe tepok jidat dewh..
Sebelum sholat maghrib dimulai, saya sudah wanti-wanti sama ikhsan,
"Le, nanti kalau sholat jangan rame ya? Jangan teriak-teriak "bas..bas..base" ya? Ga usah ikut-ikutan mas Yudis teriak-teriak ya? Nanti ganggu ibu-ibu dan bapak-bapak yang sholat."
"ho o bu, " ikhsan mengiyakan dengan mantaps.
Setelah itu, ikhsan berlari ke deretan jamaah laki-laki. Eyang langsung mengambil posisi di antara ikhsan dan yudis. Niatnya misah 2 anak itu biar ga begitu ramai saat sholat dimulai. Yah, namanya anak-anak walau sudah diwanti-wanti tidak teriak-teriak pas sholat, tetep aja dua anak itu bergantian teriak "bas...bas...base..," Ya, jelas mengganggu konsentrasi jamaah lain. Selesai sholat, deretan ibu-ibu sudah pada ngomel-ngomel kalau teriakan anak-anak itu mengganggu konsentrasi. Salah satu ibu, langsung berdiri dan mengacungkan telunjuknya ke arah ikhsan dan memelototkan mata sambil bilang ,"kalau sholat ga boleh ramai," dengan intonasi tinggi. Doh, saya jadi ga enak ati banget. Niatnya melatih ikhsan sholat di mesjid, eh malah banyak orang yang terganggu sholatnya. Tanpa kata-kata saya beranjak bangun dan menggandeng tangan ikhsan. Saya ajak pulang. Walau ikhsan protes keras, kenapa dia buru-buru diajak pulang sementara teman-temannya masih di masjid. Saya tetep diam dan menarik tangannya.
Melihat saya hanya diam saja di jalan, rupanya ikhsan tahu kalau saya marah.
"Ibu marah ya? ibu kok diam saja?" tanya ikhsan sepanjang jalan menuju rumah.
"iya, ibu marah," jawab saya pendek.
"Kenapa?"
"Karena ikhsan rame di mesjid. Mengganggu orang-orang di mesjid."
Sampai rumah, ikhsan saya dudukkan di pangkuan saya dan saya coba memberitahunyabahwa kemarahan saya karena ikhsan melakukan perbuatan yang tidak pas. Karena saya jarang banget marah, ikhsan langsung nangis sesengukan. Saya minta dia berjanji tidak mengulanginya. Ikhsan tetep menangis. Saya peluk ikhsan dan saya tunggu sampai tangisnya reda. Setelah reda, ikhsan akhirnya mau berjanji tidak mengulang lagi. Dan sebagai "hukuman", malam itu saya tidak memperbolehkan ikhsan menonton acara shaun the sheep di tivi. Tanpa protes, ikhsan menerima "hukuman" saya.
Hari berikutnya, saya tetap mengajak ikhsan buka puasa di masjid. Saya wanti-wanti ikhsan sebelum sholat maghrib dimulai, bahwa kalau dia tidak ribut selama sholat maka dia boleh nonton shaun the sheep di tivi stelah sholat maghrib, tapi kalau masih ribut, maka ikhsan ga boleh nonton. Ternyata selama sholat, ikhsan dan yudis tetep ribut dan rame. Dan jamaah lain masih berkomentar negatif tentang keributan anak-anak itu. Saya tidak menegur atau memarahi ikhsan langsung di mesjid. Saya hanya diam dan langsung menggandeng tangan ikhsan, mengajak pulang. Sampai di rumah, saya bilang ke Ikhsan kalau dia tadi masih rame di mesjid jadi tidak boleh nonton shaun the sheep.
"Iya, aku tadi masih rame," ikhsan mengakui kesalahannya. "Aku ga nonton shaun the sheep, aku mainan aja."
Kemudian saya tidak membahas lagi. Saya pikir ikhsan sudah mengerti tentang sebab-akibat dari perbuatannya. Jadi sore ini, saya tetap akan ajak ikhsan ke mesjid. Saya pengen membuktikan tentang konsep saya tentang"reward-punishment." Semoga ikhsan mengerti, tanpa saya harus marah-marah dengan kata-kata berintonasi tinggi.