Selasa, 21 Maret 2017

With or without ART??

Waa...judul postingan kali ini bener-bener mencerminkan kegalauan dalam hati saya. Yup, pasalnya sejak akhir Desember 2016 lalu, asisten rumah saya resign tanpa alasan yang jelas.  Si mbak ini sudah 4 tahun ikut saya. Pokoknya seumurannya adik Ikhfan. Kakak Ikhsan dan adik Ikhfan sudah kadung cucok dan menganggap kayak saudara sendiri. 

Gonta-ganti asisten rumah tangga sudah saya alami sejak saya hamil dan punya anak. Saya sudah tujuh kali ganti asisten dan si mbak ini adalah yang paling lama. Asisten saya yang lainnya paling lama bertahan 3 tahun. Rekor paling pendek adalah 24 jam, si mbak datang sore dan subuh sudah kabur tanpa pesan dan tidak mau balik lagi 

Sempat terbersit pikiran di kepala saya, sebenarnya saya butuh asisten atau tidak sih? Rata-rata teman saya yang sudah punya anak, pada punya asisten di rumah. Maklum kami adalah perempuan bekerja yang punya aktivitas di luar rumah dan terkadang harus tugas keluar kota beberapa hari. Tidak mungkin meninggalkan anak-anak tanpa asisten di rumah.  Tapi ada juga sih temen kantor yang bertahan tanpa asisten, dengan catatan anaknya semua masuk daycare sampai jam pulang kantor.
 Ibu bekerja butuh asisten rumah tangga tidak?

Sejak saya kuliah lagi, sebenarnya saya lebih fleksibel mengatur waktu di luar jam kuliah. Pilihannya mau aktif ikut kegiatan di kampus ataukah jadi mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang2) saja. Dulu sebelum kuliah dan harus ngantor dari senin-jumat, dari jam 07.30-16.30, jelas saya tidak bisa ngatur waktu se-fleksibel sekarang. Jam kantor harus ditaati kalau tidak ingin kena potongan, alhasil saya sangat kerepotan jika tidak punya seseorang yang membantu saya di rumah untuk menyelesaikan pekerjaan rumah dan tentu saja menjaga anak-anak yang masih kecil.

Kalau di rumah ada saudara atau orang tua yang bisa dimintai tolong untuk menjaga anak-anak itu anugerah banget, tapi pada kenyataannya saya tidak punya. Mertua sudah almarhum semua, sementara ibu saya juga sudah lama wafat, tinggal bapak yang sekarang sudah sepuh. Sementara saya dan mas sepakat kalau anak-anak tidak akan kami masukkan ke daycare. Selama belum SD, kayaknya anak-anak mending lebih banya waktu di rumah saja. Karena kesepakatan itu mau tidak mau saya harus punya asisten di rumah.

Beberapa teman kantor saya ada yang bertahan sejak punya anak pertama tidak punya asisten di rumah. Setelah masa cuti habis, si baby langsung dimasukkan daycare. Berangkat bareng ibunya yang mau ngantor dan dijemput setelah jam pulang kantor. Beres.

Huhu...tapi saya bayangin capeknya badan sebagai perempuan kalau model begitu. Ketika anak di daycare emang urusan seolah beres, kita bisa ke kantor dengan tenang. Tapi saat jemput anak, sebenarnya badan kita juga capek seharian kerja di kantor begitu juga pasangan kita. Masih harus jemput ke daycare lanjut sampai rumah dan tralalala...rumah masih berantakan karena tadi pagi belum sempat diberesin, plus si anak juga rewel minta perhatian karena seharian di daycare. Dan si bapak juga capek langsung tepar di kasur.

Jadi saya sangat salut sama ibu-ibu yang memilih pilihan daycare itu. Tenaganya strong banget dan pengelolaan emosinya patut diacungi jempol dewh.. Pernah ketika saya sedang di tukang sayur langganan, ada seorang ibu yang belanja dengan 3 anaknya yang masih balita. Kelihatannya baru saja dijemput dari daycare dan TK fullday disamping tukang sayur. Anak pertama usia 3,5 tahun, yang kedua 2 tahun dan yang ketiga digendong si Ibu, bayi 5 bulan. Semuanya dijemput naik motor oleh si Ibu padahal di luar mulai gerimis. Saya ngeliatnya sudah berdecak kagum, kok bisa bawa 3 anak dengan motor ditambah tas-tas sekolah anaknya. Nah, ketika lagi milih-milih sayur tak dinyana si anak nomer 2 tiba-tiba muntah begitu saja di lantai. Wa...saya yang ngeliat panik dan berusaha bantu membersihkan muntahan si anak. Duh, si Ibu emosinya tetap terkontrol. Intonasi suara tidak berubah, sambil gendong si bayi membersihkan muntahan si nomer dua, menenangkan anak yang muntah dan meminta maaf sama pemilik warung. Si ibu cerita kalau ketiga anaknya masuk daycare dan fulldayscholl karena dia dan suami bekerja sementara di rumah tidak ada asisten yang bisa menjaga anak-anak. Huhu...saya miris dengarnya membayangkan sampai rumah, si anak yang muntah mulai rewel karena badannya ga enak, trus si kakak pertama pasang aksi cari perhatian dan si bayi rewel minta di gendong. Wau...jempol dan hebat banget, batin saya.

Menurut pandangan saya, seorang ibu bekerja atau yang punya aktivitas di luar rumah dan masih punya anak-anak batita mempunyai dua pilihan yaitu:
1.     Memakai jasa ART
2.     Tidak memakai jasa ART

Memakai jasa ART

Saya dan mas suami sepakat memilih pilihan ini dengan pertimbangan karena mas suami mempunyai jadwal tugas keluar kota yang frekuensinya minimal dua kali dalam sebulan dan terkadang hanya menyisakan waktu 5 hari saja di rumah. Jelas dia tidak bisa diajak berbagi tugas rumah tangga dengan saya secara maksimal.

Jadi pilihan punya ART adalah pilihan yang menurut kami cocok untuk keluarga kami. Saya membutuhkan bantuan tenaga ART untuk membantu pekerjaan di rumah plus jagain anak-anak kala saya berada di luar rumah (di kantor atau sedang tugas luar kota). Dari pengalaman saya, ada plus minus-nya kalau kita memilih memakai jasa ART.

Kalau kita dapat ART yang cucok dan dah ngerti ritme rutinitas keluaraga, kita lumayan terbantu. Saya sendiri kalau dapat ART yang cucok bisa dengan tenang ninggalin anak-anak keluar kota karena sudah yakin kalau si mbak sudah “mrantasi” kerjaan di rumah. Pokoknya rasanya terbantu banget karena sebagian tugas saya di rumah sudah bisa di handle si mbak. Alhasil saya tidak terlalu capek dan lebih bisa mengontrol emosi ketika berhadapan dengan anak-anak. Mood saya juga jadi lumayan bagus. Trus saya punya lebih banyak waktu untuk “me time dengan mas suami” jadi hubungan komunikasi kami terjalin dengan baik. Saya juga jadi punya lebih banyak waktu untuk menemani eyang (bapak saya).

Saat pulang ke rumah dari kantor, saya langsung pegang anak-anak dan si mbak pegang kerjaan rumah lainnya. Pembagian tugas dengan ART yang menurut saya sudah pas. Kedekatan saya dan anak-anak tetap terjalin trus kerjaan rumah juga beres.

Namun, cerita balada ART sudah dimulai sejak kami memutuskan memakai jasa ART mulai dari drama susah nyarinya sampai ketika sudah dapat trus tidak kerasan dan tiba-tiba kabur dari rumah kami.
Masih ditambah masa-masa adaptasi dengan ART baru dan pemakluman saya yang super duper tinggi untuk beberapa “tingkah” ART yang terkadang tidak cocok di hati saya.  Saat jeda pergantian ART lama ke ART baru kadang sampai sebulan. Dan jeda waktu itu sudah bikin saya pontang panting ngatur waktu dan badan saya. Terkadang ART lama tidak kasih rekomendasi penggantinya, jadi saya butuh waktu yang tidak sebentar untuk mencari penggantinya. Karena saya tidak punya ortu/mertua yang bisa dijadikan bamper untuk jagain anak-anak, jadi masa jeda tidak punya ART akhirnya terkadang saya harus mengambil cuti dari kantor.

Gonta ganti ART saya alami sampai tujuh kali dalam rentang 9 tahun. Huhu...bener-bener rekor dewh. Adakah yang memecahkan rekor saya?? Hayo cung tangan hehe...

Tidak memakai jasa ART

Dan sekarang, sejak ART terakhir resign akhir Desember 2016 lalu, saya belum mendapat ART yang nginep seperti biasanya. Yup sudah 3 bulan, saya tanpa ART yang nginep. Yang membuat beda dan tidak kalang kabut adalah saya sedang cuti dari kantor karena kuliah lagi, jadi saya punya waktu melakukan kerjaan rumah. Jadwal kuliah tidak setiap hari dan anak-anak bukan batita lagi, kakak Ikhsan 9 th dan adik Ikhfan 4 tahun. Anak-anak sudah sekolah semua. Kakak Ikhsan full day sampai jam 3 sore dan adik Ikhfan sekolah sampai jam 12 siang. Mereka sudah lumayan mengerti dan kooperatif untuk diajak bekerja sama melakukan pekerjaan rumah.

Saya mencoba mencari ART baru ternyata tidak gampang dan life must go on. Saya musti bisa segera mencari solusi supaya rutinitas tetep jalan. Puter otak, akhirnya berhasil ngerayu bude yang biasa setlika di rumah untuk njaga anak-anak di sore hari kalau saya ada jadwal kuliah. So far bisa jalan.

Dari pengalaman saya, kalau akhirnya kita dihadapkan pada pilihan yang kedua ini ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi:
1.     Memastikan bahwa semua kebutuhan anak-anak ok dan ada orang yang kita percaya untuk menjaga mereka kala kita harus keluar rumah.
Sebagai perempuan, baik itu kerja kantoran atau full time mom, pasti ada kalanya harus keluar rumah tanpa anak-anak. Iya to?
2.     Mengajak pasangan dan anak-anak kita untuk berbagi tugas rumah tangga.
Kalau semua kerjaan rumah tangga kita semua yang ngerjakan, duh saya pastikan badan bakalan capek dan emosi gampang tersulut. Ujung-ujungnya yang kena emosi adalah anak-anak dan pasangan kita. Wah, alhasil mood keluarga jadi jelek. Ga enak banget kan??
3.     Tidak perlu perfeksionis semampunya dan ikhlas
Dulu kala punya ART, saya selalu meminta si mbak untuk ngepel rumah setiap hari. Nah, kalau sekarang saya tidak terlalu memaksa untuk ngepel setiap hari dan membiasakan mata serta pikiran saya untuk relaks saja kalau melihat rumah berantakan plus mainan berserakan di seluruh antero rumah. Saya mencoba merubah mindset saja, bahwa kalau rumah berantakan dan rumah penuh mainan itu pertanda anak-anak sehat. Betul ga?

pokoknya yang penting dalam hati saya ikhlas dan berpikir positif bahwa mungkin ini skenario terbaik Allah untuk saya supaya saya lebih dewasa dalam menjalani hidup supaya hati dan pikiran ringan dalam menjalani beban dan tanggungjawab saya sebagai istri dan ibu.
 
4.     Komunikasi antar anggota keluarga tetap harus terjalin.
Saya lebih memilih menemani ngobrol mas suami atau menemani main anak-anak dibanding melakukan pekerjaan rumah. Kalau mereka di rumah, saya pilih sama mereka dan menutup mata rumah yang masih berantakan. Saya melakukan pekerjaan rumah kala mas suami dan anak-anak sekolah semampu saya. Tidak “ngoyo” dalam bahasa jawa. Efeknya ternyata mas suami dan anak-anak secara sukarela menawarkan bantuan mereka untuk membantu melakukan pekerjaan rumah.

Wuiss ga nyangka juga, kalau pada akhirnya anak-anak jadi lebih mandiri dan rela melakukan pekerjaan rumah. Yang bikin saya geli adalah adik Ikhfan (4th) yang paling hobi ngepel lantai rumah setelah saya selesai menyapu. Kalau kakak Ikhsan paling seneng acara jemur baju dan ngangkat jemuran yang sudah kering. Kadang juga kakak Ikhsan membantu saya masak. Kalau mas suami pilih urusan cuci baju. Pekerjaan lainnya saya yang mengerjakan.

Efeknya, kami berempat sekarang semakin kompak dan rasa empati  diantara kami juga semakin tinggi. Apalagi kalau ada yang lagi sakit, wah semuanya bakal kompakan ngerawat yang sakit hehe...


Nah, kalau teman-teman pilih yang mana? With or without ART? semua pilihan pasti punya alasannya sendiri-sendiri dan siap dengan konsekuensi yang dipilih.
Hayuk share di sini ...

4 komentar:

Fitri3boys mengatakan...

kita ditengah2 aja, punya art tanpa yang pulang balik, kalau dia libur di weekend , jadinya kita kerjalan kerjaan rumah bareng2...

Dila Maretihaqsari mengatakan...

penginnya sih punya ya mak, tapi susah banget nyarinyaaa huhuhuhu

Afifah Mazaya mengatakan...

Kayaknya ini salah satu dilema ketika udah berkeluarga dan punya anak, ya, Mbak?
Kembali ke kebutuhan dan kemampuan. Tapi, hebat anak-anaknya udah mandiri karena tanpa ART

Ristin mengatakan...

Klo aku butuh ART, pernah nyoba ga pake ART, yg ada aku darah tinggi terus hahahaha.. Urus anak, kerjaan rumah, masak, setrika.. Duuhh.. Dari pagi sampe pagi lagi terus gtu.. Lama2 bikin darting hahahha... Kebetulan anak2 masih kecil wkt blm ada art, skrg ada art tp yg pulang, ga nginep, jd tetep pelan2 anak2 udh mulai di ajarin kerjaan rumah tangga, spy bljr tgg jawab jg sih hehe..