Aih, ternyata ketika mas suami
menyerahkan gaji bulanannya dan meletakkan tanggungjawab mengelola uang, bikin
saya shock juga. Uang segini banyaknya harus bisa dialokasikan ke pos-pos
kebutuhan kami berdua dan terkadang kebutuhan keluarga besar kami.
Di tahun di awal masa pernikahan,
kami merencanakan punya rumah sendiri yang sebelumnya kami tinggal di rumah
eyang. Nah lho, yang pasti kami harus menyisihkan uang untuk rencana beli rumah
sendiri. Jadi prioritas keuangan kami pada waktu itu adalah rumah. Waktu itu saya
belum menemukan pola pengelolaan keuangan yang pas supaya jumlah uang yang
ditabung lumayan banyak namun kebutuhan pokok lainnya tercukupi plus kebutuhan
refreshing bagi kami.
Sebenarnya banyak metode
pengelolaan keuangan keluarga yang dikenal. Di awal menikah saya belum punya
bekal pengetahuan bagaimana cara efektif mengelola keuangan keluarga. Waktu itu
saya hanya menyediakan uang sedikit saja dalam dompet. Tujuannya untuk
mengontrol saya dalam membelanjakan uang. Terkadang saya hanya menaruh uang 200
ribu saja dalam dompet. Maksudnya biar bisa ngirit hehe... Tapi ternyata tidak
begitu efektif juga. Masih sering kebobolan. Ah, harus cari cara lain.
Saya pernah pake metode amplop
yaitu mencatat pos-pos pengeluaran pada amplop. Kemudian mengisi amplop-amplop
tersebut dengan uang sesuai rencana kita. Saya sempat menyediakan 9 amplop yang
saya tulisi (1) kebutuhan konsumsi (2) bensin dan pulsa (3) angsuran kendaraan
(4) angsuran rumah (5) gaji pembantu (6) listri/air (7) tabungan (8) beli baju
(9) lain-lain/kebutuhan mendadak.
Kita harus bener-bener disiplin
dengan penggunaan uang dalam amplop. Jangan coba mengambil uang dari pos amplop
lain untuk suatu kebutuhan yang sudah direncanakan. Kalau bisa disiplin dijamin
keuangan kita aman. Mas suami sampai tersenyum liat tumpukan amplop keuangan
saya. Tapi dia menghormati “cara” saya mengelola uang. Nah metode yang ini
bertahan cukup lama tapi akhirnya berantakan juga karena ternyata sekarang
rencana kebutuhan saya terkadang lebih dari 10 amplop dan saya jadi kurang
telaten menyiapkan amplopnya di awal bulan. Alasan saya klise bahwa ketika di
rumah waktu saya langsung tersita oleh anak-anak. #jangan ditiru alasan saya,
bagi temen-temen yang pake metode amplop ya ;) #
Hayah, saya akhirnya cari cara
lain lagi,
Setelah metode amplop, saya
mencoba cara lain dengan membuat catatan pemasukan dan pos rencana pengeluaran
saya tanpa menyiapkan amplop. Saya membuat daftar rencana pengeluaran dan
jumlah uang yang dikeluarkan. Di akhir bulan bisa dievaluasi pos pengeluaran
mana yang surplus dan pos mana yang ternyata minus. Kalau banyak pos
pengeluaran yang minus musti mutar otak 1
(1) apakah
harus mengubah gaya hidup kita yang sekarang ataukah mempertahankannya?
(2) Apakah
perlu mengurangi pengeluaran pos-pos tertentu yang dianggap tidak begitu
penting?
(3) Apakah
perlu mencari tambahan penghasilan?
Sebagai istri, kita musti diskusi
dengan suami untuk alternatif keputusan itu. Jangan ambil keputusan sendiri
karena walau kewengang mengelola keuangan ada di tangan istri tapi keputusan
final kan tetap ada di tangan suami.
Kalau sekarang saya menerapkan
cara membuat catatan dan ditambah metode perencanaan keuangan pola 50-30-20
artinya 50% dari penghasilan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok, 30% untuk
kebutuhan lain dan 20 % untuk tabungan/investasi.
Kebutuhan pokok saya rinci apa
saja dan kemudian mengalokasi 50% dari uang bulanan. Begitu juga kebutuhan di
luar kebutuhan pokok termasuk asuransi kesehatan/pendidikan yang mendapat jatah
30%. Sedangkan untuk tabungan/investasi sebesar 20% langsung saya potong setiap
bulannya. Kalau dulu pos tabungan jumlahnya tidak sama setiap bulan
kecenderungannya sedikit karena saya mikirnya menabung tuh kalau ada sisa,
kalau sekarang pos tabungan setiap bulan hampir sama dan cenderung naik kalau
pendapan bulanan kami naik.
Dari pengalaman, ternyata
kuncinya adalah disiplin penggunaan uang sesuai rencana dan kebutuhan bukan
berdasarkan keinginan. Pembiayaan keinginan dekat sekali dengan gaya hidup yang
kita pilih. Kalau kita milih standar gaya hidup yang tinggi, jelas cost-nya juga akan lebih tinggi. Misalnya
kita sudah punya mobil yang masih ok tapi ketika ada pameran mobil terbaru dan
kliatan keren, kita tergoda untuk ganti mobil. Itu berarti nambah tanggungan
kredit mobil baru.
Kalau perempuan urusan sepele
seperti beli lipstik baru yang sebenarnya tidak dibutuhkan karena ditawarin
katalog kosmetik teman kantor yang harganya diatas harga rata-rata lipstik
merek lain bisa jadi godaan keuangan. Terkadang di bulan yang sama di kantor
ada tawaran koleksi baju,jilbab atau wadah makanan berkatalog yang menggoda
iman keuangan. Nah, kudu kuat hati menahan laju kenaikan “gaya hidup” karena
tanpa sadar bisa membobol keuangan keluarga kita.
So far, saya nyaman dengan cara
yang terakhir ini. Saya merasa keuangan keluarga kami aman karena kebutuhan
pokok seperti rumah, kendaraan, pendidikan anak-anak dan tabungan plus
investasi sudan tercover semua. Kami juga bisa menyisihkan uang untuk acara
liburan keluarga setiap tahunnya.
Jadi sebenarnya berapa pun besar
penghasilan kita, untuk bisa dikatakan cukup dan menyejahterakan tergantung
gaya hidup kita. Menurut saya dengan pola 50-30-20, kita “dipaksa” untuk hidup
sederhana sesuai dengan penghasilan kita. Walau misalnya penghasilan kita 50juta
setiap bulan tapi kalau pos konsumsi lain-lain lebih besar dari pos konsumsi kebutuhan pokok (lebih dari 50%),
rasanya memang penghasilan sebesar itu akan terasa kurang.
Bagaimana dengan teman-teman,
share dong di kolom komentar untuk berbagi...
3 komentar:
semakin lama semakin paham dan lihai mengatur keuangan keluarga ya mbak Entik..
memang di kantor itu banyak banget godaan belanja he.. he.. sama musti tebal muka menolak katalog yg cantik2 itu
@monda; betol banget.. kalau sudah disodorin katalog rasanya berat untuk berkata "tidak.."
benar-benara godaan yang besar ;)
mengaturnya selalu diusahakan pengeluaran lebih kecil dari pendapatan, nyisihin tabungan diawal, jadi biar ebak dan disiplin minta auto debet gitu, jadi mau gak mau harus mau.
Posting Komentar