Bulan April memang afdol banget kalau ngomong tentang perempuan. Ya momentumnya pas karena tanggal 21 April itu hari lahirnya Ibu Kartini. Semangat Kartini sebagai perempuan yang mempunyai keinginan untuk menuntut ilmu masih terus menggelora hingga kini.
Saya sendiri memaknai pemikiran Kartini itu sebagai
hak asasi bagi perempuan untuk menjadi cerdas. Apakah perempuan perlu menuntut
ilmu? Kartini dulu sangat mengharap mendapat kesempatan untuk sekolah dan
sangat kecewa ketika tawaran beasiswa ke Belanda dan Batavia urung diambil.
Pemikiran Kartini untuk mencerdaskan dirinya yang notabene perempuan di jaman
dulu memang penuh dengan tentangan adat jawa yang menabukan perempuan terlalu
banyak berkiprah di luar rumah. Hingga kini urusan kesempatan perempuan untuk
sekolah atau menuntut ilmu tidak sepenuhnya mulus. Adakalanya memang urusan
sekolah menjadi terhambat karena alasan klise biaya atau bahkan tidak adanya
keinginan perempuan itu sendiri untuk sekolah. Dari pengalaman saya, dari 4 ART
saya yang dua lulusan SD dan dua lulusan SMP. Alasan tidak melanjutkan sekolah
dan memilih bekerja adalah soal biaya (ini alasan ART yang luluusan SMP)
sedangkan ART saya yang lulusan SD beralasan sudah tidak mau berpikir lagi.
Sudah males sekolah karena kalau sekolah kan mikir jadi tidak mau dan budaya
masyarakat di daerah asal mereka, para perempuan hanya lulus SD saja karena toh
nanti pada akhirnya mereka akan menikah dan “hanya” akan mengurus anak dan
dapur saja, jadi tidak perlu sekolah yang tinggi. Cukup bisa membaca dan
menulis saja.
Hadew..,saya jadi miris dan tidak bisa komentar
banyak tentang itu.
Saya sendiri terlahir dari orang tua Jawa, jadi dapat
dikatakan saya adalah perempuan Jawa. Walaupun terlahir sebagai perempuan Jawa,
tapi saya tidak tumbuh dalam lingkungan adat Jawa yang kuat. Sudah ada campuran
adat Jawa dan modernitas. Saya mengagumi sosok Ibu saya yang menurut saya sosok
perempuan yang berpikiran maju. Ya, Ibu sejalan dengan pemikiran Kartini bahwa
perempuan harus pintar dan cerdas. Ibu saya adalah perempuan bekerja dan selalu
menanamkan pemikiran kepada anak-anak perempuannya bahwa sebagai perempuan
harus sekolah tinggi minimal jadi sarjana. Menurut beliau ilmu adalah bekal
yang paling baik bagi perempuan. Jadi motivasi untuk memperoleh pendidikan yang
tinggi sudah terngiang di kepala saya sejak kecil.
Kini setelah saya tumbuh dewasa, saya sepakat betul
dengan pemikiran Ibu bahwa menjadi perempuan itu harus pintar. Jadi tidak salah
juga kalau jaman dulu Kartini juga mempunyai pikiran serupa. Mungkin historis
alasan Ibu saya dan Kartini berbeda ketika mempunyai pemikiran perempuan harus
pintar dan sekolah. Namun apa pun alasannya mereka mempunyai pemikiran yang
sama. Saya pun mempunyai alasan tersendiri.
Pernah suatu kali saya ditanya seorang sahabat saya,
kenapa perempuan itu harus cerdas? Ih, pertanyaan yang menggelitik. Untuk menjawabnya,
saya perlu merenung cukup lama. Iya sih,mengapa kita sebagai perempuan harus
cerdas? Beberapa alasan yang mungkin terlontar dari perempuan adalah ingin
berkarier dan menunjukkan eksistensinya, menunjukkan status sosial atau bahkan
menjadi kebanggaan keluarga.
Menjadi perempuan yang cerdas adalah pilihan. Kita bisa
memilih untuk menjadi cerdas atau tidak entah lewat jalur formal maupun
informal. Jika pilihan itu diberikan kepada saya, maka saya memilih menjadi
cerdas. Perempuan secara fitrah memang lebih berperan di rumah sebagai istri
dan ibu. Istri yang cerdas akan menjadi pendamping yang menyenangkan bagi
suami. Suami akan menempatkan istri sebagai orang pertama tempatnya berkeluh
kesah dan berbagi. Beban dan stress pekerjaan di kantor bisa di-sharing-kan
dengan istri dan ternyata support positif istri terhadap pekerjaan suami
berdampak luar biasa terhadap kinerja dan kesuksesan suami di kantor. Bukankah di
balik kesuksesan seorang laki-laki/suami pasti ada seorang perempuan hebat di
belakangnya? Keberadaan perempuan yang hebat dan cerdas tidak bisa diabaikan
begitu saja. Untuk menjadi perempuan hebat membutuhkan proses yang tidak mudah
dan singkat. Perempuan harus terus belajar dan belajar tentang kehidupan.
Menjadi istri di era sekarang ini, kita harus
menempatkan diri sebagai partner dan pemberi support bagi suami. Sekarang saya
memilih untuk lebih banyak di rumah dan mengurangi intensitas tugas keluar kota
dan mas suami bisa fokus di pekerjaan walau harus sering tugas keluar kota. Prinsip
saya sih, setinggi-tingginya burung terbang dia akan kembali ke sarangnya
karena disana dia akan menemukan kenyamanan dan kebahagiaan. Dan saya bertugas
menyediakan “sarang” yang nyaman itu.
Di saat perempuan menyandang status sebagai Ibu, dia
akan menjadi sekolah pertama bagi anak-anaknya. Bisa dianalogikan jika seorang
Ibu adalah seorang perempuan yang cerdas, bisa diprediksi anak-anaknya pun akan
menjadi perempuan cerdas. Nah, untuk menjadi Ibu yang cerdas tidaklah mudah. Urusan
pendidikan anak membutuhkan bekal parenting yang tepat. Belajar tentang
parenting adalah solusi yang tepat bagi perempuan. Banyak aspek tentang
parenting yang harus kita ketahui. Mendidik anak di era sekarang pastinya
berbeda dengan masa ketika kita kecil, jadi perlakuan terhadap anak tidak bisa
disamakan dengan jaman dulu.
Menjadi dilema ketika seorang Ibu adalah perempuan
bekerja yang pada kenyataannya mempunyai waktu yang tidak banyak untuk berinteraksi
dengan anak-anaknya. Perasaan bersalah kepada anak karena sering meninggalkan
rumah sering menghinggapi. Tapi sekali lagi, bekerja di luar rumah atau menjadi
full time mom adalah pilihan. Tidak ada
pilihan yang sempurna, semua ada konsekuensinya. Keinginan perempuan untuk
beraktifitas di luar rumah untuk mengaktualisasikan dirinya entah dengan alasan
mencari penghasilan atau yang lainnya patut dihormati. Yang mejadi perhatian
adalah bagaimana perempuan menjadi Ibu yang cerdas yang bisa menyeimbangkan
fungsinya sebagai Ibu dan istri di rumah dan perempuan bekerja di luar rumah. Menurut
saya, kita tidak bisa sukses di luar rumah dan di rumah lancar pada waktu
bersamaan. Ada kalanya kita harus memilih. Ketika anak-anak masih kecil dan membutuhkan
keberadaan kita secara fisik lebih banyak, akan lebih adil jika kita memberi
porsi waktu lebih banyak di luar rumah. Nah, ketika anak-anak sudah bertambah
besar dan mereka sudah bisa agak mandiri, kita bisa memberi porsi waktu yang
lebih banyak di luar rumah. Jadi menurut saya lebih pada pilihan timing.
Sekarang saya memilih pilihan yang pertama yaitu memberikan
porsi waktu yang lebih banyak di rumah karena
ikhsan-ikhfan masih membutuhkan keberadaan saya secara fisik di rumah. Apalagi sekarang
saya tidak mempunyai ART. Jadi ketika saya mendapat beasiswa untuk melanjutkan
kuliah lagi, saya sangat bersyukur karena timing-nya
sangat tepat. Saya diberi kesempatan untuk menjadi cerdas dan saya mempunyai
waktu yang fleksibel untuk ikhsan-ikhfan.
Waktu dan kesempatan yang mungkin
tidak akan terulang lagi. Saya belajar memanajemen waktu antara kuliah dan
rumah, saya juga belajar berpikir sistematis sehingga bisa mencari solusi yang
tepat atas masalah yang saya hadapi. Inilah proses saya menjadi cerdas.
Ah, saya juga ingin seperti Kartini yang selalu punya
keinginan untuk terus belajar.
6 komentar:
perempuan adalah kaawah candradimuka yang lemah lembut demi generasi lebih baik.
Jadi ibu rumah tangga memang warbiyasak bangett..
Setujuu.. Jadi perempuan harus pintar. Selagi ada kesempatan & biaya, sekolah setinggi-tingginya. :)
Ikhsan dan Ikhfan pasti bangga bangetn sama Ibunya ...
Yes agree, pengen kayak Kartini selalu semangat belajar. Semangkaaa.
Setuju banget mbak, perempuan memang harus cerdas, entah itu mau jadi working mom atau ibu rumah tangga, keduanya pekerjaan mulia.
Posting Komentar