Waa...judul postingan kali ini
bener-bener mencerminkan kegalauan dalam hati saya. Yup, pasalnya sejak akhir
Desember 2016 lalu, asisten rumah saya resign tanpa alasan yang jelas. Si mbak ini sudah 4 tahun ikut saya. Pokoknya
seumurannya adik Ikhfan. Kakak Ikhsan dan adik Ikhfan sudah kadung cucok dan
menganggap kayak saudara sendiri.
Gonta-ganti asisten rumah tangga
sudah saya alami sejak saya hamil dan punya anak. Saya sudah tujuh kali ganti
asisten dan si mbak ini adalah yang paling lama. Asisten saya yang lainnya
paling lama bertahan 3 tahun. Rekor paling pendek adalah 24 jam, si mbak datang
sore dan subuh sudah kabur tanpa pesan dan tidak mau balik lagi
Sempat terbersit pikiran di
kepala saya, sebenarnya saya butuh asisten atau tidak sih? Rata-rata teman saya
yang sudah punya anak, pada punya asisten di rumah. Maklum kami adalah
perempuan bekerja yang punya aktivitas di luar rumah dan terkadang harus tugas
keluar kota beberapa hari. Tidak mungkin meninggalkan anak-anak tanpa asisten
di rumah. Tapi ada juga sih temen kantor
yang bertahan tanpa asisten, dengan catatan anaknya semua masuk daycare sampai
jam pulang kantor.
Sejak saya kuliah lagi,
sebenarnya saya lebih fleksibel mengatur waktu di luar jam kuliah. Pilihannya
mau aktif ikut kegiatan di kampus ataukah jadi mahasiswa kupu-kupu (kuliah
pulang2) saja. Dulu sebelum kuliah dan harus ngantor dari senin-jumat, dari jam
07.30-16.30, jelas saya tidak bisa ngatur waktu se-fleksibel sekarang. Jam
kantor harus ditaati kalau tidak ingin kena potongan, alhasil saya sangat
kerepotan jika tidak punya seseorang yang membantu saya di rumah untuk
menyelesaikan pekerjaan rumah dan tentu saja menjaga anak-anak yang masih
kecil.
Kalau di rumah ada saudara atau
orang tua yang bisa dimintai tolong untuk menjaga anak-anak itu anugerah
banget, tapi pada kenyataannya saya tidak punya. Mertua sudah almarhum semua,
sementara ibu saya juga sudah lama wafat, tinggal bapak yang sekarang sudah
sepuh. Sementara saya dan mas sepakat kalau anak-anak tidak akan kami masukkan
ke daycare. Selama belum SD, kayaknya anak-anak mending lebih banya waktu di
rumah saja. Karena kesepakatan itu mau tidak mau saya harus punya asisten di
rumah.
Beberapa teman kantor saya ada
yang bertahan sejak punya anak pertama tidak punya asisten di rumah. Setelah
masa cuti habis, si baby langsung dimasukkan daycare. Berangkat bareng ibunya
yang mau ngantor dan dijemput setelah jam pulang kantor. Beres.
Huhu...tapi saya bayangin
capeknya badan sebagai perempuan kalau model begitu. Ketika anak di daycare
emang urusan seolah beres, kita bisa ke kantor dengan tenang. Tapi saat jemput
anak, sebenarnya badan kita juga capek seharian kerja di kantor begitu juga
pasangan kita. Masih harus jemput ke daycare lanjut sampai rumah dan
tralalala...rumah masih berantakan karena tadi pagi belum sempat diberesin,
plus si anak juga rewel minta perhatian karena seharian di daycare. Dan si
bapak juga capek langsung tepar di kasur.
Jadi saya sangat salut sama
ibu-ibu yang memilih pilihan daycare itu. Tenaganya strong banget dan
pengelolaan emosinya patut diacungi jempol dewh.. Pernah ketika saya sedang di
tukang sayur langganan, ada seorang ibu yang belanja dengan 3 anaknya yang
masih balita. Kelihatannya baru saja dijemput dari daycare dan TK fullday
disamping tukang sayur. Anak pertama usia 3,5 tahun, yang kedua 2 tahun dan
yang ketiga digendong si Ibu, bayi 5 bulan. Semuanya dijemput naik motor oleh
si Ibu padahal di luar mulai gerimis. Saya ngeliatnya sudah berdecak kagum, kok
bisa bawa 3 anak dengan motor ditambah tas-tas sekolah anaknya. Nah, ketika
lagi milih-milih sayur tak dinyana si anak nomer 2 tiba-tiba muntah begitu saja
di lantai. Wa...saya yang ngeliat panik dan berusaha bantu membersihkan
muntahan si anak. Duh, si Ibu emosinya tetap terkontrol. Intonasi suara tidak
berubah, sambil gendong si bayi membersihkan muntahan si nomer dua, menenangkan
anak yang muntah dan meminta maaf sama pemilik warung. Si ibu cerita kalau
ketiga anaknya masuk daycare dan fulldayscholl karena dia dan suami bekerja
sementara di rumah tidak ada asisten yang bisa menjaga anak-anak. Huhu...saya
miris dengarnya membayangkan sampai rumah, si anak yang muntah mulai rewel
karena badannya ga enak, trus si kakak pertama pasang aksi cari perhatian dan
si bayi rewel minta di gendong. Wau...jempol dan hebat banget, batin saya.
Menurut pandangan saya, seorang
ibu bekerja atau yang punya aktivitas di luar rumah dan masih punya anak-anak
batita mempunyai dua pilihan yaitu:
1.
Memakai jasa ART
2.
Tidak memakai jasa ART
Memakai jasa ART
Saya dan mas suami sepakat
memilih pilihan ini dengan pertimbangan karena mas suami mempunyai jadwal tugas
keluar kota yang frekuensinya minimal dua kali dalam sebulan dan terkadang
hanya menyisakan waktu 5 hari saja di rumah. Jelas dia tidak bisa diajak
berbagi tugas rumah tangga dengan saya secara maksimal.
Jadi pilihan punya ART adalah
pilihan yang menurut kami cocok untuk keluarga kami. Saya membutuhkan bantuan tenaga
ART untuk membantu pekerjaan di rumah plus jagain anak-anak kala saya berada di
luar rumah (di kantor atau sedang tugas luar kota). Dari pengalaman saya, ada plus
minus-nya kalau kita memilih memakai jasa ART.
Kalau kita dapat ART yang cucok
dan dah ngerti ritme rutinitas keluaraga, kita lumayan terbantu. Saya sendiri
kalau dapat ART yang cucok bisa dengan tenang ninggalin anak-anak keluar kota
karena sudah yakin kalau si mbak sudah “mrantasi” kerjaan di rumah. Pokoknya
rasanya terbantu banget karena sebagian tugas saya di rumah sudah bisa di
handle si mbak. Alhasil saya tidak terlalu capek dan lebih bisa mengontrol
emosi ketika berhadapan dengan anak-anak. Mood saya juga jadi lumayan bagus. Trus
saya punya lebih banyak waktu untuk “me time dengan mas suami” jadi hubungan
komunikasi kami terjalin dengan baik. Saya juga jadi punya lebih banyak waktu
untuk menemani eyang (bapak saya).
Saat pulang ke rumah dari kantor,
saya langsung pegang anak-anak dan si mbak pegang kerjaan rumah lainnya. Pembagian
tugas dengan ART yang menurut saya sudah pas. Kedekatan saya dan anak-anak
tetap terjalin trus kerjaan rumah juga beres.
Namun, cerita balada ART sudah
dimulai sejak kami memutuskan memakai jasa ART mulai dari drama susah nyarinya
sampai ketika sudah dapat trus tidak kerasan dan tiba-tiba kabur dari rumah
kami.
Masih ditambah masa-masa adaptasi
dengan ART baru dan pemakluman saya yang super duper tinggi untuk beberapa “tingkah”
ART yang terkadang tidak cocok di hati saya. Saat jeda pergantian ART lama ke ART baru
kadang sampai sebulan. Dan jeda waktu itu sudah bikin saya pontang panting
ngatur waktu dan badan saya. Terkadang ART lama tidak kasih rekomendasi
penggantinya, jadi saya butuh waktu yang tidak sebentar untuk mencari
penggantinya. Karena saya tidak punya ortu/mertua yang bisa dijadikan bamper
untuk jagain anak-anak, jadi masa jeda tidak punya ART akhirnya terkadang saya
harus mengambil cuti dari kantor.
Gonta ganti ART saya alami sampai tujuh kali
dalam rentang 9 tahun. Huhu...bener-bener rekor dewh. Adakah yang memecahkan
rekor saya?? Hayo cung tangan hehe...
Tidak memakai jasa ART
Dan sekarang, sejak ART terakhir
resign akhir Desember 2016 lalu, saya belum mendapat ART yang nginep seperti
biasanya. Yup sudah 3 bulan, saya tanpa ART yang nginep. Yang membuat beda dan
tidak kalang kabut adalah saya sedang cuti dari kantor karena kuliah lagi, jadi
saya punya waktu melakukan kerjaan rumah. Jadwal kuliah tidak setiap hari dan
anak-anak bukan batita lagi, kakak Ikhsan 9 th dan adik Ikhfan 4 tahun. Anak-anak
sudah sekolah semua. Kakak Ikhsan full day sampai jam 3 sore dan adik Ikhfan
sekolah sampai jam 12 siang. Mereka sudah lumayan mengerti dan kooperatif untuk
diajak bekerja sama melakukan pekerjaan rumah.
Saya mencoba mencari ART baru
ternyata tidak gampang dan life must go on. Saya musti bisa segera mencari
solusi supaya rutinitas tetep jalan. Puter otak, akhirnya berhasil ngerayu bude
yang biasa setlika di rumah untuk njaga anak-anak di sore hari kalau saya ada
jadwal kuliah. So far bisa jalan.
Dari pengalaman saya, kalau
akhirnya kita dihadapkan pada pilihan yang kedua ini ada beberapa hal yang
perlu digarisbawahi:
1.
Memastikan bahwa semua kebutuhan anak-anak ok
dan ada orang yang kita percaya untuk menjaga mereka kala kita harus keluar
rumah.
Sebagai perempuan, baik itu kerja kantoran atau full
time mom, pasti ada kalanya harus keluar rumah tanpa anak-anak. Iya to?
2.
Mengajak pasangan dan anak-anak kita untuk
berbagi tugas rumah tangga.
Kalau semua kerjaan rumah tangga kita semua yang
ngerjakan, duh saya pastikan badan bakalan capek dan emosi gampang tersulut. Ujung-ujungnya
yang kena emosi adalah anak-anak dan pasangan kita. Wah, alhasil mood keluarga
jadi jelek. Ga enak banget kan??
3.
Tidak perlu perfeksionis semampunya dan ikhlas
Dulu kala punya ART, saya selalu meminta si mbak untuk
ngepel rumah setiap hari. Nah, kalau sekarang saya tidak terlalu memaksa untuk
ngepel setiap hari dan membiasakan mata serta pikiran saya untuk relaks saja
kalau melihat rumah berantakan plus mainan berserakan di seluruh antero rumah. Saya
mencoba merubah mindset saja, bahwa kalau rumah berantakan dan rumah penuh
mainan itu pertanda anak-anak sehat. Betul ga?
pokoknya yang penting dalam hati saya ikhlas dan berpikir positif bahwa mungkin ini skenario terbaik Allah untuk saya supaya saya lebih dewasa dalam menjalani hidup supaya hati dan pikiran ringan dalam menjalani beban dan tanggungjawab saya sebagai istri dan ibu.
pokoknya yang penting dalam hati saya ikhlas dan berpikir positif bahwa mungkin ini skenario terbaik Allah untuk saya supaya saya lebih dewasa dalam menjalani hidup supaya hati dan pikiran ringan dalam menjalani beban dan tanggungjawab saya sebagai istri dan ibu.
4.
Komunikasi antar anggota keluarga tetap harus
terjalin.
Saya lebih memilih menemani ngobrol mas suami atau
menemani main anak-anak dibanding melakukan pekerjaan rumah. Kalau mereka di
rumah, saya pilih sama mereka dan menutup mata rumah yang masih berantakan. Saya
melakukan pekerjaan rumah kala mas suami dan anak-anak sekolah semampu saya. Tidak
“ngoyo” dalam bahasa jawa. Efeknya ternyata mas suami dan anak-anak secara
sukarela menawarkan bantuan mereka untuk membantu melakukan pekerjaan rumah.
Wuiss ga nyangka juga, kalau pada akhirnya anak-anak jadi
lebih mandiri dan rela melakukan pekerjaan rumah. Yang bikin saya geli adalah
adik Ikhfan (4th) yang paling hobi ngepel lantai rumah setelah saya selesai
menyapu. Kalau kakak Ikhsan paling seneng acara jemur baju dan ngangkat jemuran
yang sudah kering. Kadang juga kakak Ikhsan membantu saya masak. Kalau mas
suami pilih urusan cuci baju. Pekerjaan lainnya saya yang mengerjakan.
Efeknya, kami berempat sekarang semakin kompak dan rasa empati diantara kami juga semakin tinggi. Apalagi kalau ada yang lagi sakit, wah semuanya bakal kompakan ngerawat yang sakit hehe...
Nah, kalau teman-teman pilih yang
mana? With or without ART? semua pilihan pasti punya alasannya sendiri-sendiri dan siap dengan konsekuensi yang dipilih.
Hayuk share di sini ...
4 komentar:
kita ditengah2 aja, punya art tanpa yang pulang balik, kalau dia libur di weekend , jadinya kita kerjalan kerjaan rumah bareng2...
penginnya sih punya ya mak, tapi susah banget nyarinyaaa huhuhuhu
Kayaknya ini salah satu dilema ketika udah berkeluarga dan punya anak, ya, Mbak?
Kembali ke kebutuhan dan kemampuan. Tapi, hebat anak-anaknya udah mandiri karena tanpa ART
Klo aku butuh ART, pernah nyoba ga pake ART, yg ada aku darah tinggi terus hahahaha.. Urus anak, kerjaan rumah, masak, setrika.. Duuhh.. Dari pagi sampe pagi lagi terus gtu.. Lama2 bikin darting hahahha... Kebetulan anak2 masih kecil wkt blm ada art, skrg ada art tp yg pulang, ga nginep, jd tetep pelan2 anak2 udh mulai di ajarin kerjaan rumah tangga, spy bljr tgg jawab jg sih hehe..
Posting Komentar