Hari jumat, 16 Juni 2017 kemarin saya berkesempatan menghadiri pertemuan wali murid di TK-nya Ikhfan yang diiisi kajian tentang Parenting. Sekolah sering menghadirkan sesi parenting untuk wali murid dengan pembicara yang berbeda-beda. Saya mendapat banyak sekali ilmu ketika mengahadiri pertemuan itu. Sewaktu Ikhfan mengalami trauma tidak mau ditinggal ketika sekolah selama 6 bulan, saya mendapat pencerahan dan cara trauma healing bagi Ikhfan dari psikolog yang mengisi acara parenting di sekolah.
Nah, sesi parenting kemarin
menghadirkan Ibu Rina, psikolog dari UII. Tema besar yang diangkat Ibu Rina
adalah Menjaga Potensi Baik pada Anak. Di awal sesi, Ibu Rina melontarkan
pertanyaan kepada kami adalah “apakah bapak/Ibu pernah sekolah untuk menjadi
orang tua yang baik? Apakah ada sekolah untuk menjadi orang tua? Bagaimana bisa
orang tua yang tidak mempunyai bekal yang baik dapat mendidik anak-anaknya
dengan baik?”
Saya baru ngeh, juga ketika Ibu
Rina bercerita tentang hal itu. Saya baru menyadari pentingnya mempelajari ilmu
parenting ketika anak kita bermasalah dan kita tidak tahu bagaimana solusinya
karena di dalam otak kita tidak ada referensi/pengalaman tentang masalah itu. Kalau
sudah dalam titik bingung, paling-paling kita lari ke psikolog. Lha kalau
kejadian itu terjadi pada orang awam dan bener-bener ga tahu solusinya dan tidak
tahu dimana tempat untuk bertanya bagaimana? Ujung-ujungnya si anak yang akan
menjadi korban. Dilabeli sebagai anak nakal, susah diatur, tidak menghormati
orang tua dan tidak jarang si anak akhirnya bener-bener jadi “anak yang nakal”
seperti label yang diberikan padanya. Orang tua akhirnya tak berdaya.
Ibu Rina ketika memberi penjelasan |
Kalau kita merasa anak kita
baik-baik saja dan tidak masalah pastinya kita akan menganggap bahwa pola
pengasuhan yang kita lakukan sudah benar dan tepat sehingga tidak perlu lagu
meng-up date pengetahuan kita
mengenai parenting. Betul ga? Tapi tantangan pengasuhan era sekarang lebih
besar dibandingkan dengan jaman orang tua kita dulu. Anak-anak yang masuk fase
remaja mulai aktif menggunakan smart phone dan media sosial. Jika ada suatu hal
yang tidak mereka ketahui, maka pikiran yang pertama kali terlintas di pikiran
mereka adalah mencarinya di mesin mencari seperti Google. Mereka jarang
bertanya pada orang tua. Kalaupun bertanya kepada orang tua dan dijawab, mereka
tetap belum puas dan mencarinya di Google.
Bahkan yang membuat gelisah orang
tua adalah ketika anak-anak remaja sedang galau tentang perasaannya, mereka akan
curhat melalui media sosial dan bisa dibaca oleh orang seantero dunia yang
terkoneksi dengan internet. Curhatan anak-anak remaja ini, terkadang mengundang
perilaku negatif oleh sekelompok orang yang memanfaatkan remaja-remaja galau
tersebut. Huhu...ngeri sekali mendengar contoh Ibu Rina tentang hal ini.
Nah, sebagai orang tua kita kan
ga mau kalau anak-anak lebih nurut sama internet dan media sosial dibandingkan
nasehat/penjelasan kita mengenai sesuatu yang belum mereka ketahui. Informasi
di internet saya akui kurang memberikan filter bagi anak-anak. Kalaupun kita
memasang aplikasi pengaman di gadget kita, ternyata anak-anak sekarang lebih
pinter untuk melakukan un-install
untuk aplikasi pengaman itu. Anak-anak lebih pinter dibandingkan orang tua
mengenai teknologi informasi digital seperti sekarang ini.
Sebagai orang tua pasti mempunyai
berbagai masalah dalam pola pengasuhan kita. Saya kira tidak ada yang
lurus-lurus saja tanpa masalah dalam mengasuh dan mendidik anak di keluarga. Ibu
Rina mengingatkan bahwa sebagai orang tua, kita harus terus belajar. Jangan
merasa cukup dangan bekal ilmu parenting yang kita miliki saat ini karena
perkembangan teknologi dan informasi sangat mempengaruhi anak-anak kita.
Kita bisa memulainya dengan
mengevaluasi kesalahan-kesalahan dalam pengasuhan anak yang sudah kita lakukan
seperti hal-hal berikut:
1. Berbohong
pada anak
2. Memberi
label terutama label negatif seperti anak malas, anak bodoh dan sebagainya.
3. Memberi
ancaman tapi tidak melakukan ancaman sehingga anak berpikir bahwa ancaman orang
tua tidak akan terjadi sehingga mereka tetap melakukan tindakan yang kurang
baik tersebut.
4. Orang
tua males berkegiatan bersama anak seperti menemani bermain, membacakan
dongeng, mendengarkan cerita anak dan ngobrol bareng anak
Secara teori, sepertinya kita sudah
paham, tapiii..iii yang paling susah adalah pada tataran praktek. Saya sendiri
mengakui kalau terkadang saya memberi ancaman kepada Ikhsan-ikhfan tapi saya
tidak melakukannya. Seperti contohnya saya memberi aturan bermain game maksimal
1 jam setiap harinya. Nah ketika badan saya lagi capek karena berbagai
aktivitas rumah tangga dan kantor, saya ”terpaksa” membiarkan anak-anak bermain
game lebih lama setengah jam dari ketentuan saya karena saya butuh waktu untuk
rehat sejenak. Maklum saya tidak mempunyai ART sehingga pekerjaan rumah saya
kerjakan sediri sepulang kantor. Doh, komitmen saya untuk konsisten menerapkan
aturan bener-bener diuji kalau dalam posisi seperti itu. [yang ini jangan
dicontoh ya...]
Saya salut untuk orang tua yang
bisa konsisten memberlakukan aturan main game seminggu sekali bagi anak. At least saya menyadari kesalahan saya
dan mencoba untuk memperbaikinya. Saya mencoba memilah dan memilih teknik
pengasuhan sesuai ilmu parenting yang cocok untuk Ikhsan-Ikhfan karena menurut
saya setiap keluarga mempunyai gaya pola pengasuhan yang berbeda-beda walaupun mempunyai
basic ilmu parenting yang sama. Teknik
di keluarga A belum tentu cocok diterapkan pada keluarga B walau basic materi
parentingnya sama.
Prinsip parenting yang perlu
diingat oleh orang tua adalah berusaha menjadi contoh yang baik bagi anak,
selalu mengingatkan anak, konsisten dengan aturan yang dibuat serta dilakuan
dengan sabar dan kasih sayang. Ada pepatah yang mengatakan buah jatuh tak jauh
dari pohonnya.
Nah kalau kita ingin mempunyai anak yang berprilaku baik,
mandiri dan bermanfaat bagi orang lain rubahlah diri kita sendiri menjadi baik,
mandiri dan bermanfaat bagi orang lain dulu. Karena perilaku anak tidak
tiba-tiba bisa menjadi baik tapi butuh proses dan waktu sepanjang usianya. Anak-anak
akan dengan mudah meniru contoh yang paling dekat dengan mereka yaitu orang
tua. Contoh kecil saja, kalau setiap hari anak melihat orang tuanya marah-marah
maka akan sangat sulit membayangkan si anak akan menjadi pribadi yang sabar dan
mempunyai empati terhadap orang lain.
Ini jadi semacam self reminder bagi saya, semoga
bermanfaat bagi teman-teman yang sudah dan yang akan menjadi orang tua. Thanks untuk Ibu Rina yang berkenan berbagi dengan kami -para orang tua murid-
berfoto bersama di akhir sesi |
antusiasme peserta |
ibu-ibu serius mendengarkan penjellasan Ibu Rina |
1 komentar:
nambah ilmu ya ikutan seminar kayak gini...
Posting Komentar