Duduk di bawah pohon rimbun di gedung pusat kampus sambil menikmati angin yang bertiup nakal bersama Abi adalah saat-saat kunanti. Sesekali kulihat sudut mata Abi mengerling menatapku tetapi buru-buru dibuangnya jauh.
“Akan seperti apakah kita 10 tahun lagi Er?
Masihkah kita bisa memandang langit yang sama ditemani buaian angin yang nakal
ini?” Mata Abi menerawang jauh.
Aku
hanya terpekur diam.
“Entahlah,
semoga saja langit akan tetap di sana untuk kita 10 tahun lagi,” jawabku sekenanya.
“Er...,”
panggil Abi.
Aku
menoleh dan menunggu kalimat selanjutnya. Yang kudapat hanya diam. Aku tetap
menunggu. Lima menit berlalu, perkataan Abi terhenti. Abi selalu seperti ini,
selalu ada yang ingin diungkapkan tetapi batal diucapkan.
“Bi...,
tadi mau bilang apa?” akhirnya aku tidak tahan untuk bertanya.
“hmm...
,” Abi masih bimbang. “kamu akan tetep jadi tempat aku berbagi kan?”
Aku
terdiam tapi mengangguk mantap. “Pasti, Bi..”
Angin
mulai bertiup nakal lagi mempermainkan ujung poniku sementara Abi memandang
daun-daun kering yang ikut diterbangkan angin.
“Er,
lihatlah daun-daun itu. Mereka berkejaran ditiup angin. Pergi menurutkan angin
menyuruh mereka pergi. Awalnya mereka bersama namun ketika angin datang, mereka
terpisah. Mungkin nanti saat angin menginginkan mereka bertemu, mereka akan
bertemu juga. Walau mereka tetap ingin bersama namun nasib membawa mereka ke
tempat yang berbeda. Mereka berpisah tanpa ada kesedihan.” Abi terdiam lagi.
“Er,
mungkinkah kita seperti mereka?”
Aku
menelan ludah. Menatap mata Abi meminta kepastian. Mencari makna dibalik
pertanyaannya. Aku menunduk mencoba mengambil benang merah dari perumpaan Abi
tentang daun-daun yang terbang ditiup angin. Diawali kebersamaan kemudian nasib
memecah kebersamaan itu dan memaksa mereka berpisah. Tapi apakah memang mereka
berpisah tanpa kesedihan? Setiap perpisahan pasti ada segelintir kesedihan
karena setiap pertemuan juga pasti ada segelintir kebahagiaan.
Tidak
ada jaminan kalau mereka berpisah kemudian suatu waktu lagi mereka akan dibawa
nasib untuk bertemu. Bukankah di tempat yang berbeda mereka akan menjumpai
pertemuan baru dengan yang lain dan disana salah satu dari mereka akan
menemukan kebahagiaan yang baru pula. Lalu apa yang harus dipegang supaya
mereka bisa bertemu dan bersama lagi? Sebuah janji belaka? Ataukah sebuah
ikatan yang lebih dari sekedar janji? Perpisahaan tetap meninggalkan kesedihan.
Dan menikmati kesedihan sungguh tidak menyenangkan. Siapa bilang kesedihan
adalah bagian dari hidup yang harus dilewati. Kadangkala aku tidak mau
kesedihan datang menyapa hidupku. Bagiku perpisahaan adalah kesedihan. Aku
tidak mau bersedih untuk perpisahan yang seharusnya tidak terjadi.
Mungkin
angin memang menjalankan kewajibannya untuk menerbangkan daun-daun itu. Tapi
jika saja daun-daun itu tetap bergandengan, niscaya angin akan menerbangkan
mereka ke tempat yang sama? Dan tidak akan ada perpisahaan di antara mereka.
“Er...,”
Abi memecah keheningan. “Kenapa hari ini kamu begitu diam? Tidak seperti
biasanya berceloteh seperti burung menceritakan kejadian-kejadian yang
menyapamu setelah dua tahun kita tidak bertemu?”
Aku
masih terdiam.
“Er,
ada yang salah dengan perkataanku?”
Aku
masih terdiam. Tangan Abi perlahan menyentuh lembut tanganku.
“Erin,
....,”
Aku
masih terdiam dan mencoba meredam dadaku yang berdetak kencang. Abi, laki-laki
yang telah kukenal hampir 7 tahun sejak aku menginjakkan kaki di kampus sebagai
mahasiswa baru, laki-laki yang selalu berhasil membuat hatiku kacau itu
sekarang menyentuh lembut tanganku. Ini baru pertama kali dia lakukan. Aku
selalu menunggu dia mengucapkan atau melakukan sesuatu yang romantis untukku
seperti di film atau drama-drama korea sejak mahasiswa dulu. Sayangnya itu
tidak pernah terjadi, jadi aku mengubur dalam-dalam harapan itu. Mungkin aku
hanya akan jadi orang spesial sebagai temannya saja, tidak lebih.
Dan
kini, apa yang Abi lakukan? Bercerita tentang perpisahan dan mengenggam erat
tanganku? Oh, Tuhan sekarang aku sungguh tak bisa bicara. Mulutku terkunci dan
tenggorokanku terasa pekat. Sementara dadaku juga tidak bisa diajak kompromi
supaya tidak berdetak kencang. Apakah ini yang dinamakan simfoni jatuh cinta?
Orang
bilang, jatuh cinta itu tidak bisa dipaksakan. Jatuh cinta juga tidak dapat
ditebak kapan akan datang. Tapi aku yakin cinta akan datang tepat pada waktunya
sehingga dia akan terlihat indah seperti pelangi yang tiba-tiba saja hadir di
ufuk langit membentuk simfoni warna yang indah.
Aku
menghela nafas panjang mencoba menganalisa lebih jauh tentang rasa ini. Tujuh
tahun yang lalu rasa ini sepertinya pernah aku rasakan ketika aku bertatapan
dengan Abi, tapi mengapa sekarang rasanya sungguh berbeda? Terasa lebih
menggetarkan hati. Apakah benar cinta itu telah ada di hatiku sejak tujuh tahun
yang lalu? dan sekarang cinta itu bagai disiram air dan pupuk sehingga
tiba-tiba saja dia mekar tanpa mau menunggu pengakuan dari Abi?
Di
mataku Abi seperti tidak membutuhkan pengakuan itu. Tapi di lubuk hatiku
terdalam aku butuh itu dan aku tidak berani memintanya untuk melakukannya.
Tujuh tahun berlalu, dan pertemuan kali ini terasa sangat berbeda.
Aku
masih terdiam dan berharap Abi mengucapkan kata-kata pengakuan bahwa aku adalah
tambatan hatinya, bahwa dia mengakui telah jatuh cinta kepadaku atau memintaku
menemani sisa hidupnya. Oh, betapa indahnya jika dia bersedia mengucapkan itu
sekarang.
“Erin..,
“ Abi mengangkat daguku perlahan.
Aku
semakin tercekat saja. Dadaku juga semakin bergemuruh.
“Aku
tidak bisa menemukan orang sepertimu. Hanya kamu yang bisa kuajak duduk
memandang langit dan bercerita tentang masa depan. Tahukah kamu Er, dua tahun
berpisah darimu membuat hatiku kosong. Jakarta tempat yang membuat hatiku sumpek.” Mata Abi menerawang jauh.
Aku
masih terdiam. Menunggu.
“Aku
bagai daun yang diterbangkan angin. Sekarang aku ditiup sampai Jakarta. Aku
tidak tahu kemana angin akan meniupku lagi. Mungkin lebih jauh lagi dari
Jakarta. Bukankah kamu pun begitu Er? Kamu perempuan cerdas dan tidak mungkin
hanya berdiam diri berpangku tangan saja. Angin juga telah meniupmu. Dan angin
telah memisahkan kita dengan tiupannya. Angin meniup kita di tempat mana kita
bisa mengais rejeki. Tak perlu naif, karena kita butuh uang.”
Tangan
Abi masih menggenggam tanganku erat.
“Er,
bulan depan aku dipindah tugas ke Dubai,” suara Abi bagai gemuruh di telingaku.
Aku
menatap Abi tidak percaya. Dubai?? Sungguh jauh dari Jakarta. Ketika Abi
memutuskan menerima tawaran pekerjaan di Jakarta, dia berjanji untuk meluangkan
waktu bertemu denganku. Namun pada kenyataannya kesibukannya bagai pengulur
waktu untuk bertemu. Dua tahun berlalu dan kini ketika akhirnya kami bertemu
dan bisa memandang langit yang sama, Abi malah akan terbang jauh lagi. Mataku
mulai berkaca-kaca. Dalam hati aku memohon, “Bi.., bicaralah hal yang lain saja.”
“Er,
aku sungguh membutuhkanmu. Ak...uu menaruh harapan padamu.” Abi bicara pelan.
“Erin,
aku sungguh mencintaimu...,” suara Abi mendesah sambil memandangku lembut.
Sekali
lagi aku tercekat. Aku sudah tidak bisa membendung air mata ini untuk tidak
menetes. Akhirnya setelah tujuh tahun menunggu, aku mendengar kalimat itu keluar
dari mulut Abi.
“Aku
tahu, tidak mudah membawamu pergi terbang bersamaku Er. Ada banyak
tanggungjawab di pundakmu. Aku tahu itu. Menemani dan merawat ibumu adalah
sebuah tanggungjawab besarmu. Stroke
yang datang menyapa ibu tidak bisa disalahkan. Kamu adalah anak satu-satunya,
pastilah ibu berharap besar kau temani di sisa umurnya. Melihatmu sukses
berkarier dan berharap kau hadir di penghujung hari untuk mendengar celotehanmu
tentang aktivitasmu di kantor pasti menjadi saat yang ditunggu-tunggu beliau
setiap harinya. Kalau kau kuajak terbang bersamaku mengikuti angin membawaku
pergi, apakah aku telah berlaku jahat pada beliau?? Sementara kau tahu pasti
bahwa aku lebih bahagia diterbangkan angin jauh dari sini. Aku ingin
meninggalkan rasa yang telah melukai hatiku di rumah. Aku ingin terbang jauh
bersamamu. Katakan padaku Er, apa yang harus kulakukan?,” Abi berkata panjang
lebar seolah-olah kalimat yang keluar dari mulutnya telah dihafalnya
berkali-kali supaya tidak salah ucap.
Demi
mendengar penjelasan Abi yang panjang itu, air mataku meleleh. Ternyata Abi
membutuhkan waktu yang lama untuk merangkai kalimat yang tepat. Romantisme ini
berbeda dengan film atau drama korea yang sering aku lihat. Pertemuan ini
sungguh membuat hatiku kacau.
Aku
sudah sesenggukan menahan tangis. Tidak ada kata-kata yang bisa kuucapkan dan
yang kurasakan genggaman tangan Abi semakin erat.
“Katakan
padaku Er, kamu juga akan mengikuti angin membawamu pergi dan berjanjilah suatu
saat kita akan bertemu dan bergandengan tangan untuk membiarkan angin meniup
kita terbang bersama. Memandang langit yang sama dan membiarkan angin nakal itu
mempermainkan ponimu lagi. Entah berapa lama itu akan terjadi. Dan biarlah
waktu yang membantu aku melebur egoku. Membabat rasa marah yang tak
berkesudahan pada takdirku dan menyemai rasa mengalah hingga suatu saat aku
datang menjemputmu untuk terbang bersamaku. Bersediakah kau Er? Aku menaruh
harapan padamu. Hanya kamu yang mengerti tentang perasaanku, hidupku dan keluarga
yang tak mengharapkan aku lahir. Hanya kamu Er...,” Abi memohon dengan iba.
Air
mataku masih menetes. Oh, mengapa hidupku jadi semakin rumit saja? Melepaskan Abi
tanpa harapan untuk dapat memiliknya mungkin akan lebih mudah kulakukan
daripada melepasnya tapi harus meregang waktu untuk menunggunya kembali. Keputusan
yang tidak mudah diambil. Aku tahu Abi adalah pribadi yang rapuh dibalik
tubuhnya yang kekar itu. Emosinya kadang bagai rollercoaster jika tidak ada yang mengendalikan. Kondisi orang
tuanya yang berpisah dan tidak mengharapkan kelahirannya tampaknya menjadi
alasan yang bisa dituding atas pribadi Abi itu. Aku seakan hadir dalam hidup
Abi sebagai peredam emosinya.
Bersama
Abi, aku merasakan kehangatan berbalut bahagia ketika mendengar dia merangkai
kalimat membicarakan hidup dan kehidupan. Abi berbicara seolah sedang merangkai
bunga yang memercikkan aroma wangi. Sementara Abi akan dengan senang hati
mendengar aku berceloteh apa saja yang kutemui dan kurasakan setiap harinya. Ini
sebuah simfoni hati yang indah seandainya angin tidak menerbangkan kami ke
tempat yang berbeda.
“Erin....,”
panggilan Abi menghentikan pikiranku yang melayang kemana-mana.
“Eh,
ya...”
Abi
memandangku seolah menunggu jawabanku atas permintaannya tadi. Aku masih
terdiam dan mencoba merangkai kata.
“Iya
Bi.. mungkin kita ditakdirkan untuk saling melengkapi hati masing-masing karena
aku merasa nyaman bila ada di dekatmu begitupun kau. Tuhan memberi kita
kekuatan untuk memilih ingin diterbangkan kemana oleh angin. Kau memilih
diterbangkan angin sampai ke Dubai dan aku memilih diterbangkan angin di sini. Itu
sekarang. Mungkinkah esok kita bisa memilih angin menerbangkan kita ke tempat yang
sama? “ aku memandang Abi sekali lagi.
Abi
terdiam. Matanya menerawang memandang langit seolah ingin mencari kata-kata
yang disembunyikan awan.
“Er,
esok setelah angin menerbangkanku ke Dubai, aku akan memintanya menerbangkan
aku kembali ke tempat yang sama denganmu. Akan kutulis permintaanku itu di
sini,” Abi mengambil tanganku dan meletakkan di dadanya. “Aku hanya butuh waktu
untuk melebur semua yang tidak mengenakkanku di sini.”
Aku
mengangguk. Aku percaya janji Abi.
“Aku
akan kembali padamu Er.. dan berjanjilah padaku jangan biarkan angin membawamu
terbang jauh. Percayalah kita akan memandang langit bersama hingga ujung waktu.
Bersama. “
Sekali
lagi aku mengangguk dan membiarkan Abi merengkuhku dalam pelukannya.
“Kita
berpisah dan kita pasti akan bertemu lagi. Bukankah ketika ada pertemuan pasti
ada perpisahan? Begitu juga sebaliknya.”
Dan
angin kembali meniup poniku dengan nakal.
9 komentar:
Wah, cerpennya menarik ya Mbak
pergi untuk kembali yah Mbak :)
wah mbak entik bisa nulis cerpen, aku nyerah deh mbak :) good luck ya
@titis: hehe...makasih ;)
@irawati; ya pergi untuk kembali. rada klise ya? hehe..
@mba lidya: itu pas lagi mood nulis mba, kalau ga mood ya susah nyari idenya hehe..
so sweet jeng entik, bermain fiksi
semoga menang ya give awaynya amiiin.
huwaa... sedih
fiksinya bagus mba... :)
Posting Komentar